Sejujurnya, saya termasuk orang yang tergolong pada kategori ‘pemula’ dalam hal mengenal tokoh-tokoh seperti Woody, Buzz Lightyear, Potatohead, dan teman-temannya yang lain. Siapa mereka? Ya, mereka adalah tokoh-tokoh dalam film animasi buatan Pixar yang berjudul Toy Story, salah satu karya mereka yang terkenal dan memiliki banyak penggemar. Sebelumnya saya sudah sering mendengar tentang film ini dan berbagai macam pujian yang menyertainya. Tapi anehnya hal tersebut tidak sampai mendorong saya untuk mencari dan menonton film ini. Apalagi, ide tentang boneka atau mainan yang bisa hidup ketika pemiliknya sedang tidak ada itu terdengar agak…err….horror…(teringat salah satu cerita di Goosebumps yang berjudul Boneka Hidup Beraksi) di bayangan saya. Barulah, tepatnya beberapa bulan yang lalu, salah satu stasiun televisi kita berbaik hati menayangkan dua filmnya (Toy Story 1 & 2) selama dua hari berturut-turut. Saya yang sedang tidak ada kerjaan pun akhirnya menonton juga film itu. Setelah nonton dua filmnya di TV saya langsung menyesal. Menyesal karena gak suka filmnya? Bukan, tapi menyesal karena kenapaaaa coba gak dari dulu saya nonton film ini. Ya, meskipun terlambat, ternyata saya jatuh cinta pada cerita tentang mainan bernama Woody dan kawan-kawannya tersebut. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?
Namun, yang akan saya review kali ini bukanlah dua film pertamanya yang saya tonton di TV tersebut, melainkan serinya yang ketiga yang baru saya tonton beberapa minggu yang lalu (maaf yee reviewnya basi). Karena jarak nonton ketiga filmnya yang tidak begitu jauh, maka masih segar di ingatan saya tentang dua film pendahulunya. Dan tanpa ragu saya menyatakan bahwa filmnya yang ketiga ini adalah yang terbaik dari semua serinya, dan juga yang paling berkesan di hati saya. Filmnya sendiri dirilis sebelas tahun setelah seri keduanya rilis. Sangat lama bukan? Dan tidak hanya usia filmnya yang bertambah, tokoh Andy, manusia pemilik Woody dan kawan-kawannya ini juga sekarang sudah bertambah dewasa dan sudah mau menjadi mahasiswa. Karena usianya yang bertambah tersebut, tentu saja Woody dkk juga sudah tidak pernah dimainkan lagi oleh Andy. Mereka kini tergeletak dalam sebuah peti, dan usaha mereka untuk menarik perhatian Andy agar mau memainkan mereka lagi pun tidak berhasil. Lalu, masalah timbul ketika sebentar lagi Andy mau menjadi mahasiswa dan pindah ke asrama. Tidak mungkinkan Andy membawa semua mainannya tersebut. Andy lalu memutuskan untuk membawa Woody saja sementara mainan-mainannya yang lain akan ia simpan di loteng. Namun, karena beberapa kejadian, Woody dan kawan-kawannya malah terbawa ke sebuah tempat bernama Sunnyside Daycare, sebuah tempat penitipan anak yang juga surga mainan untuk anak-anak. Mereka disambut ramah oleh Lotso, si boneka beruang yang bisa dibilang pemimpin mainan-mainan disana, dan juga warga Sunnyside Daycare yang lain (yang tentu saja mainan). Buzz dan kawan-kawannya yang merasa dilupakan Andy ini pun kembali bersemangat dan memutuskan untuk menetap di Sunnyside. Namun, apakah Sunnyside ini seramah yang mereka bayangkan? Apakah mereka akan betah berdiam di tempat itu? Bagaimana dengan Andy? Apakah mereka akan kembali padanya?
Seperti yang saya tulis sebelumnya, menurut saya seri ketiga Toy Story ini adalah yang terbaik dari semua serinya dan yang paling berkesan di hati saya. Film ini termasuk ke dalam paket komplit. Film ini sangat menyenangkan dan menghibur, tapi juga memberikan ‘sesuatu’ kepada saya. Unsur komedinya sangat lucu dan berhasil membuat saya tertawa. Apalagi kehadiran banyak tokoh baru, seperti Barbie dan Ken, menjadikan film ini menjadi semakin segar dan semakin menyenangkan. Salah satu yang lucu lagi adalah ketika Buzz tiba-tiba bisa berbahasa Spanyol dan menjadi sedikit ‘melambai’ (kenapa bisa begitu? Tonton aja deh). Menurut saya itu adalah adegan yang paling lucu dalam film ini 😀 Petualangan Woody dkk dalam film ini juga lumayan menegangkan dan membuat filmnya menjadi semakin seru dan asik diikuti.
Namun seperti yang saya bilang tadi, film ini tidak berakhir sebagai film yang sekadar lucu dan menghibur saja. Film ini juga memiliki beberapa bagian yang menyentuh dan sangat ‘nancep’ di hati, terutama di bagian akhir. Endingnya adalah yang terbaik dari film ini, dan juga yang terbaik dari semua ending di film-film sebelumnya. Endingnya menurut saya sangat pas untuk menutup film ini. Endingnya berhasil membuat saya tersenyum sekaligus menitikan air mata. Padahal saya tidak seperti Andy, yang waktu kecilnya senang bermain dengan banyak mainan. Jujur, saya bukan tipe orang yang waktu kecilnya senang mengkoleksi mainan. Kalaupun saya punya mainan, pasti sering saya abuse sampai rusak (teringat pada boneka Barbie saya yang kepalanya botak karena saya guntingi rambutnya terus menerus :p). Endingnya ini menyadarkan saya, bahwa mainan adalah salah satu hal yang berperan penting dalam perkembangan seorang anak. Dan pertambahan usia adalah sesuatu yang mutlak terjadi pada setiap orang. Kita tidak akan bisa menjadi anak-anak selamanya. Namun, meskipun begitu kita tidak boleh melupakan perasaan kita sewaktu menjadi anak-anak. Ya, secara keseluruhan film ini sangat berkesan dan membawa suatu perasaan hangat pada hati saya *heartwarming gitu deh istilahnya enggresnya*. Animasinya? Tampaknya tidak perlu saya bahas panjang-panjang, cukup satu kata saja: SUPERB (meskipun saya tidak menonton versi 3Dnya). Tidak heran film ini menjadi film animasi terbaik di ajang Oscar kemarin (meskipun saya juga menyukai film kompetitornya, The Illusionist, tapi The Illusionist tidak meninggalkan kesan yang sedalam Toy Story 3). So, saya kasih 5 bintang untuk film ini. Highly recommended.
Rating : 1 2 3 4 5