Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘movie’ Category

The_Case_of_Hana_&_Alice-p2

11 tahun setelah dirilisnya film berjudul “Hana and Alice”, Suzuki Anne dan Aoi Yu kembali menghidupkan dua karakter tersebut di tahun ini dalam sebuah film berjudul “The Case of Hana & Alice”. Namun kali ini, mereka tampil sebagai “Hana” dan “Alice” dalam format animasi. Masih disutradarai oleh Iwai Shunji (yang menjadi debutnya dalam penyutradaraan animasi), film ini menceritakan kisah bagaimana Hana dan Alice bertemu (alias prekuel).

vlcsnap-2015-11-01-13h47m26s711

Arisugawa “Alice” Tetsuko (disuarakan Aoi Yu), seorang gadis berusia 14 tahun, baru saja pindah rumah bersama ibunya setelah kedua orang tuanya bercerai. Rumah barunya bersebelahan dengan sebuah rumah yang kabarnya merupakan rumah seorang gadis yang sebaya dan satu sekolah dengannya namun sudah lama tidak masuk sekolah dan mengurung diri di rumahnya. Di sekolah barunya, Alice mengalami keanehan yang berhubungan dengan bangku yang ditempatinya, yang menurut kabar burung, dulunya ditempati seorang murid bernama Yuda (atau Judas) yang kabarnya memiliki empat orang istri dan mati diracun oleh salah satu dari mereka. Isu yang belum tentu benar tersebut mulai mengganggu hari-hari Alice di sekolah barunya. Ia pun mencoba menghubungi Hana (disuarakan Suzuki Anne), gadis hikikomori tetangganya tersebut, yang kabarnya mengenal Yuda dan bertanggungjawab atas hal yang terjadi pada murid misterius tersebut. Bersama-sama, mereka berdua lalu menyelidiki mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada Yuda. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? Apakah Yuda memang benar-benar sudah mati seperti gosip yang beredar di sekolah? Dan apa yang sebenarnya terjadi pada Hana dan Yuda yang membuatnya mengurung diri di rumahnya?

vlcsnap-2015-11-01-13h46m27s509

Sebagai penggemar film originalnya, saya sangat menikmati film prekuel ini. Meskipun sudah 11 tahun berlalu dan Hana & Alice muncul melalui format baru (animasi), saya bisa merasakan bahwa mereka masih sama dengan Hana & Alice yang saya kenal melalui film pendahulunya. Saya senang karena Iwai masih mempertahankan karakteristik yang kita kenali dari film sebelumnya. Alice masihlah Alice yang ceria, pemberani, namun kurang berpikir panjang dan masih belum pintar dalam ‘berakting’. Hana masih Hana yang cool, judes, dan punya kecenderungan yang aneh ketika sedang naksir cowok :D. Dan meskipun film ini adalah kisah awal pertemuan Hana dan Alice, kedua karakter ini langsung memiliki chemistry yang sangat kuat dan membuat kita mengerti mengapa mereka bisa menjadi sahabat dekat di film pendahulunya.

Embel-embel “satsujin jiken” (murder case) pada judulnya membuat film ini juga memiliki unsur misteri. Apalagi misterinya itu misteri yang cukup absurd (wtf ada anak SMP punya istri empat). Namun, misteri bukanlah inti utama dari film ini. Seperti film pendahulunya, inti film ini adalah kebodohan dan kepolosan masa remaja. Segala hal yang terjadi pada film ini bersumber dari dua hal itu, dan membuat Hana dan Alice kemudian mengalami petualangan kecil yang kemudian berpengaruh pada proses pendewasaan mereka berdua. Setelah Love Letter, All About Lily Chou-chou, dan Hana and Alice yang semuanya menggambarkan kehidupan anak remaja (dari kehidupan yang manis sampai pahit), Iwai Shunji membuktikan bahwa dirinya memang piawai dalam meramu film-film bertemakan coming of age. Film ini sendiri merupakan comeback Iwai Shunji dalam dunia feature film setelah terakhir kali menyutradarai film debut internasionalnya, Vampire, yang sayangnya tidak terlalu berhasil. Dan sebagai debutnya dalam menyutradarai film animasi, meskipun animasinya bukan tipe yang luar biasa dan mendapat beberapa kritikan dari beberapa kritikus, saya cukup suka animasinya yang simpel. Plus, melihat beberapa adegan yang familiar dari film pendahulunya namun dengan format animasi menimbulkan kesenangan tersendiri untuk saya.

vlcsnap-2015-11-01-13h46m41s067

Overall, sebagai penggemar film pendahulunya, The Case of Hana & Alice adalah sebuah prekuel yang memuaskan dan memberi perasaan nostalgia. Lalu apakah harus menonton film pendahulunya dulu sebelum menonton film ini? Tidak usah, kok, karena ceritanya berdiri sendiri dan film ini memiliki setting waktu lebih awal dari pendahulunya (tapi gak ada salahnya juga sih nonton Hana and Alice, karena dua-duanya film yang wajib tonton :D). Recommended!

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Parasyte_Pt1-p1Alien berbentuk parasit bermaksud menguasai bumi dengan cara menginvasi otak manusia dan mengubah mereka menjadi kanibal. Satu di antara mereka gagal menginvasi otak dan alih-alih ‘menginvasi’ tangan kanan saja. Adalah Izumi Shinichi (Sometani Shota), manusia beruntung (?) yang otaknya terselamatkan berkat earphone yang dipakainya ketika tidur. Hasilnya, ia harus hidup berdampingan dengan Migi (yang berarti “kanan”), alien parasit yang menguasai tangan kanannya. Meskipun selamat, Shinichi tentunya tidak bisa merasa tenang karena berbagai macam pembunuhan sadis terjadi di sekelilingnya dan ia tahu “apa” yang ada di balik semua itu. Apalagi, beberapa alien parasit tersebut kemudian muncul di hadapannya dalam berbagai bentuk, mulai dari guru, polisi, murid pindahan, sampai politikus yang sedang mengikuti pemilu. Apa yang akan terjadi pada Shinichi selanjutnya? Apakah para alien parasit tersebut akan berhasil menguasai bumi? Sila ditonton kak, di blitzmegaplex terdekat.

kiseijuu1

Belakangan ini beberapa film Jepang mulai banyak yang ditayangkan di bioskop Indonesia ya. Dan dari beberapa film Jepang tersebut, Parasyte (judul Jepangnya: Kiseijuu) adalah film yang paling saya tunggu-tunggu waktu tayangnya. Salah satu alasannya adalah Sometani Shota (Himizu, Lesson of the Evil), sang pemeran Shinichi, yang menurut saya merupakan salah satu aktor muda paling berbakat yang dimiliki Jepang. Dan saya juga sangat menyukai komik buatan Iwaaki Hitoshi yang menjadi sumber asli film ini (meskipun bacanya belum tamat, hihi). Komiknya sih aslinya diterbitin lebih dari dua dekade yang lalu. Dan saya bersyukur karena film live actionnya baru dibikin sekarang karena teknik CGI buatan Jepang sekarang sudah jadi semakin bagus dan tidak kalah dari film Hollywood. Jadi buat saya lamanya rentang waktu antara awal diterbitkannya manganya dan pembuatan film live actionnya ini worth the wait lah.

Filmnya sendiri buat saya sangat memuaskan. Buat yang gak baca komiknya, gak perlu khawatir gak paham sama filmnya karena plot yang ada pada manganya tergambar dengan baik di filmnya. Buat yang baca komiknya, ada beberapa perubahan pada filmnya tapi buat saya gak mengganggu dan tetap bisa dinikmati. Tidak seperti kebanyakan film blockbuster yang sering kali berhasil menghibur tapi di dalamnya ‘kosong’, Parasyte memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar seseorang yang berusaha menyelamatkan umat manusia dari serangan makhluk jahat. Hal itu disebabkan oleh si sosok alien parasit itu sendiri. Meskipun hal yang dilakukan mereka itu dinilai jahat dari sudut pandang manusia, itu tidak berlaku bagi mereka karena yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sudah sewajarnya dilakukan. Seperti manusia yang memakan binatang dan tumbuhan untuk bertahan hidup, mereka juga memangsa manusia dengan alasan yang sama. Beberapa pertanyaan filosofis dimunculkan di sini, seperti “apakah hutan-hutan di dunia ini akan terselamatkan jika 99% populasi manusia musnah?” dan berbagai macam pertanyaan sejenis lainnya.

kiseijuu2

Meskipun punya tone serius, film ini tetap memiliki unsur hiburan yang dimiliki kebanyakan film blockbuster. Hiburannya itu terletak pada komedinya yang lebih condong ke black comedy. Kebanyakan sih yang lucunya bersumber dari karakter Migi (disuarakan Abe Sadao), alien parasit yang menempati tangan Shinichi, yang meskipun selalu melindungi Shinichi dari serangan parasit lainnya, tapi di sisi lain juga berharap kaumnya tersebut akan berhasil menguasai bumi. Salut pada animator di balik film ini karena meskipun wujudnya hanya berupa animasi CGI, karakter Migi ini terlihat begitu hidup dan sangat mencuri perhatian, ditambah lagi karena suaranya yang dibawakan dengan sangat baik oleh aktor Abe Sadao. Efek CGI yang bagus ini juga tidak hanya berlaku pada karakter Migi. Karakter alien parasit lainnya, dan bagaimana perubahan manusia menjadi ‘monster’ di film ini digambarkan dengan sangat bagus dan halus. Oh ya, karena film ini juga menceritakan kanibalisme, ada beberapa hal gore di film ini, tapi masih digambarkan dengan kadar wajar sehingga film ini masih aman untuk penonton yang tidak menyukai hal tersebut.

kiseijuu3

Hal lain yang saya suka di sini adalah chemistry antara Migi dan Shinichi yang digambarkan dengan sangat kuat. Salut untuk Sometani Shota karena aslinya kan dia harus berakting sendirian. Di luar itu, aktingnya sebagai Shinichi pun sangat baik meskipun image-nya sedikit berbeda dengan yang di komik. Aktor dan aktris lainnya, mulai dari yang senior seperti Fukatsu Eri, Kimiko Yo, dan Kitamura Kazuki, sampai yang muda seperti Hashimoto Ai dan Higashide Masahiro (salah satu yang bikin saya makin betah nonton film ini, meskipun senyumnya creepy amat :D) pun berakting dengan baik dan memperkuat film ini.

Overall, Parasyte part 1 ini buat saya merupakan salah satu film live action terbaik yang pernah dibuat Jepang. Dan saya harap film ini akan menjadi standar bagi film-film live action yang akan datang. Bagi yang ingin menonton, filmnya masih tayang di bioskop Blitz Megaplex. Dan saat ini saya sangat tidak sabar menunggu part 2-nya yang baru akan tayang di Jepang sekitar bulan April tahun ini. 4 bintang. Recommended!

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

tamakoposter“Japan isn’t hopeless. It’s YOU.”

Tamako (Maeda Atsuko), seorang gadis muda berusia dua puluh tiga tahun, baru saja lulus dari universitas di Tokyo dan kemudian kembali ke kampung halamannya di Kofu. Apa yang ia lakukan di kampung halamannya? TIDAK ADA. Ya, yang ia lakukan setiap hari hanyalah makan, tidur, membaca komik, atau bermain game. Tamako tampak tidak tertarik pada kehidupan normal seperti gadis-gadis sebayanya. Ia juga tidak menunjukkan tanda-tanda ingin mencari pekerjaan ataupun melakukan suatu hal yang berguna. Satu-satunya teman yang dia miliki hanyalah seorang anak SMP cowok yang tampaknya memiliki mental yang jauh lebih dewasa dari Tamako. Di Kofu, Tamako tinggal berdua saja dengan ayahnya (Suon Kan), seorang duda yang mengelola sebuah toko peralatan olahraga. Tidak hanya mengelola toko, sang ayah melakukan semua pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Pada awalnya sang ayah merasa kesal melihat Tamako yang kerjaannya hanya makan-tidur-makan-tidur, tapi lama-lama ia membiarkan anak perempuannya itu melakukan apapun ia mau. Sampai suatu hari, Tamako mendengar bahwa bibinya berusaha menjodohkan ayahnya dengan seorang wanita. Apa yang akan Tamako lakukan selanjutnya? Apakah Tamako akan selamanya membiarkan dirinya berada dalam sebuah “moratorium”?

tamako1

Sesuai judul film ini, kita dibawa kepada kehidupan Tamako yang seakan-akan mengalami sebuah “penundaan” (moratorium). Apa yang dialami Tamako sendiri buat saya adalah sesuatu yang sangat mungkin dialami oleh banyak orang (termasuk saya sendiri. Been there done that, hehe), terutama para fresh graduate yang masih bingung untuk menentukan masa depan. Karena itu, film ini termasuk film yang sangat personal untuk saya. Seperti khasnya film Jepang bergenre slice of life, tidak ada hal luar biasa yang terjadi di di film ini. Tapi bukan berarti tidak ada hal yang terjadi. Seiring berjalannya waktu (btw film ini menceritakan kehidupan Tamako dalam kurun waktu empat musim), kita dapat melihat adanya perubahan-perubahan kecil pada sosok Tamako. Perubahan-perubahan tersebut diperlihatkan dengan begitu halus dan tanpa perlu mengubah karakter Tamako secara ekstrim.

Selain bercerita tentang kehidupan Tamako, film ini juga adalah salah satu film yang menceritakan hubungan ayah dan anak (yang juga merupakan tema favorit saya). Saya suka sekali dengan interaksi antara Tamako dan ayahnya. Saya suka dengan karakter sang ayah yang meskipun kadang merasa kesal melihat Tamako yang tidak pernah melakukan apa-apa, tapi di sisi lain juga senang karena putrinya tersebut membuatnya tidak hidup sendirian lagi. Saya juga suka reaksi Tamako yang merasa panik keberadaannya akan terancam dengan kehadiran perempuan baru di kehidupan ayahnya. Mereka bukanlah sosok ayah dan anak yang sempurna, tapi keberadaan mereka melengkapi satu sama lain.

tamako2

Berperan sebagai Tamako, Maeda Atsuko (ex-AKB48) berhasil menanggalkan image idolnya dan bertransformasi menjadi Tamako si pemalas yang tidak pernah menunjukkan gairah hidup. Banyak yang bilang dia aktris buruk, tapi setelah melihatnya di film ini (dan juga Seventh Code-nya Kiyoshi Kurosawa) saya merasa anggapan orang-orang tersebut perlu diralat lagi. Well, saya tidak banyak melihat film/dorama yang ada dianya, tapi karakter Tamako menurut saya cocok sekali diperankan olehnya. Tamako bukanlah karakter sempurna dan memiliki banyak sifat buruk, tapi Maeda berhasil membuat karakter ini menjadi karakter yang tidak mudah dibenci. Film ini sendiri adalah kolaborasi kedua antara Maeda Atsuko dan sutradara Yamashita Nobuhiro (Linda Linda Linda, My Back Page) setelah The Drudgery Train. Dan karakter yang diperankan Maeda di Tamako sangat berbeda jauh dengan karakternya di The Drudgery Train. Sebagai sang ayah, Suon Kan pun berperan bagus di film ini. Ia memang terlihat seperti ayah yang kurang tegas, tapi pada saat tertentu ia bisa membuat keputusan yang tepat. Ia juga memiliki chemistry yang baik dengan Maeda. Meskipun karakternya tidak digambarkan sebagai karakter yang super akrab dengan putrinya, kita dapat melihat ayah dan anak ini memiliki suatu ikatan yang kuat.

Secara keseluruhan, Tamako in Moratorium adalah film slice of life yang menurut saya akan menimbulkan efek yang berbeda-beda bagi setiap penontonnya. Sebagian penonton mungkin akan menganggap film ini membosankan karena tidak ada hal yang benar-benar spesial yang terjadi di film ini, tapi sebagian lagi mungkin akan menikmati film ini karena temanya yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari (apalagi kalo kamu punya kesamaan dengan karakter Tamako). So, 4 bintang untuk film ini.

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Purisuka’s Top 5 Eita Films

Jika kamu pembaca setia blog ini (kayak ada aja), kamu pasti tahu siapa aktor Jepang yang paling saya suka saat ini. Ya, dia adalah Eita! Perkenalan saya dengan aktor yang punya nama lengkap Nagayama Eita ini bermula sekitar lima tahun yang lalu tepatnya di dorama Nodame Cantabile yang sangat populer itu. Di dorama itu ia berperan sebagai Mine Ryutaro, violinist bergaya rocker yang juga bersahabat dengan Nodame sang tokoh utama. Namun, saya baru menaruh perhatian padanya ketika melihat aktingnya di dorama Last Friends (dari lima tokoh utama di dorama itu, karakter Takeru yang diperankannya lah yang paling saya suka). Meskipun begitu, saya baru menyatakan diri sebagai penggemarnya setelah melihat aktingnya sebagai mahasiswa forensik penuh rasa ingin tahu di dorama berjudul Voice. Dan sejak saat itu, saya selalu berusaha untuk mencari dan menonton dorama-dorama atau film-film yang memasang Eita sebagai pemainnya. Apa yang membuat saya jatuh cinta pada aktor satu ini? Tentu saja aktingnya. Menurut saya, Eita termasuk aktor yang bisa memerankan berbagai macam peran, mulai dari peran serius sampai peran komedik. Dan setelah menonton sebagian besar film/dorama yang pernah dimainkannya, saya terpikir untuk membuat postingan khusus tentang lima film yang dibintanginya yang menjadi favorit saya. Siapa tahu list di bawah ini bisa jadi referensi tontonan atau sukur-sukur bisa bikin kalian tertarik untuk ‘mengenal’ Eita.

(more…)

Read Full Post »

I love Japanese comedy, terutama komedi yang terdapat dalam film atau dorama asal negara tersebut. Dan jika kita berbicara tentang film komedi Jepang, nama Mitani Koki tentunya tidak boleh luput dari pembicaraan. Siapakah dia? Yeah, dia adalah seorang penulis sekaligus sutradara di balik beberapa film komedi terkenal di Jepang. Tidak hanya film, ia juga menulis/menyutradarai beberapa serial tv dan juga pertunjukkan teater. Meskipun cukup terkenal di Jepang, saya sendiri sebenarnya masih asing dengan karya sutradara ini. Saya cuma pernah menontonnya tiga karyanya, yaitu The Magic Hour, Suteki na Kakushidori, dan karyanya yang paling baru Suteki na Kanashibari/A Ghost of a Chance (sayangnya yang ini agak mengecewakan). Dan baru-baru ini akhirnya saya menemukan salah satu filmnya yang lain yang berjudul Welcome Back, Mr. McDonald (judul asli: Rajio no Jikan). Film ini sendiri adalah debut penyutradaraan dari Mitani Koki setelah sebelumnya lebih sering menyutradarai pertunjukkan teater. Dan setelah menonton film ini, saya rasa sebutan Japan’s Master of Comedy yang sering disematkan pada namanya di banyak artikel bukanlah sesuatu yang berlebihan.

Lalu, bercerita tentang apakah film Welcome Back, Mr. McDonald ini? Cukup sederhana, yaitu tentang proses pembuatan sebuah drama radio. Drama radio tersebut berasal dari naskah yang ditulis Suzuki Miyako (Suzuki Kyoka). Miyako sendiri adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Naskah drama berjudul “Woman of Destiny” itu adalah naskah pertama yang ditulisnya. Dan ia beruntung karena naskah pertamanya tersebut berhasil memenangkan lomba penulisan naskah drama radio yang diadakan sebuah stasiun radio. Dan sebentar lagi, naskah tersebut akan diwujudkan menjadi drama radio yang disiarkan secara langsung pada tengah malam. Tidak ada kesulitan yang berarti ketika rehearsal dilakukan. Namun, setelah itu muncul masalah kecil ketika aktris yang mengisi suara pemeran utama drama radio tersebut meminta nama dari peran yang dimainkannya diganti hanya beberapa saat sebelum on air. Sang produser, Ushijima, sama sekali tidak berani menolak permintaan Senbon Nokko (nama aktris tersebut, diperankan Toda Keiko). Maka bergantilah nama karakter utama drama radio tersebut, dari Ritsuko menjadi Mary Jane. Perubahan satu nama saja harusnya sih tidak menjadi masalah besar ya. Harusnya. Tapi hal tersebut rupanya memancing rasa iri dari pemain lain, dan kemudian berujung pada banyak perubahan lain. Lalu, perubahan apa saja kah yang terjadi pada naskah tersebut? Bagaimana perasaan Miyako melihat naskah yang ditulisnya diacak-acak dan menjadi sangat berbeda? Dan apakah proses pembuatan drama radio tersebut akan berakhir dengan lancar? Tonton aja deh.

Yak, satu lagi film komedi Jepang favorit saya. Welcome Back, Mr. McDonald adalah salah satu film yang berhasil bikin saya ketawa terus hampir sepanjang film berlangsung. Jika harus membandingkan dengan film lain, kesan yang dihasilkan film ini hampir mirip dengan kesan saya terhadap film Kisaragi. Keduanya sama-sama bercerita tentang satu buah peristiwa saja dengan lokasi yang terbatas. Keduanya juga menyimpan kejutan-kejutan kecil yang bisa membuat penonton merasa deg-degan terhadap hal-hal yang akan terjadi selanjutnya. Selain itu, kelucuan dari kedua film tersebut juga sama-sama disetir oleh karakter-karakternya yang beraneka ragam. Makanya, jika kamu menyukai Kisaragi, rasanya akan sulit untuk tidak menyukai film ini.

Karakterisasi tokoh-tokoh dalam film ini memang merupakan faktor utama yang membuat film ini menjadi sangat lucu. Meskipun hanya berkisar pada satu buah peristiwa selama kurang lebih satu sampai dua jam saja, dengan mudah kita bisa langsung mengetahui seperti apa kepribadian tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Miyako, si penulis amatir yang pemalu dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika naskah ciptaannya diubah dengan seenaknya; Kudo (Karasawa Toshiaki), si sutradara yang cool dan kadang berkata pedas; Ushijima (Nishimura Masahiko), si produser (?) berwajah ramah tapi kurang tegas dalam bertindak; Senbon Nokko, aktris yang bertingkah bak putri raja  sekaligus sumber dari segala permasalahan film ini. Selain mereka, masih ada beberapa tokoh lainnya yang juga berperan penting terhadap perkembangan ceritanya. Segala tindakan dan pilihan tak terduga dari para karakternya lah yang membuat film ini menjadi sangat fun dan penuh kejutan. Hal itu juga membuat film ini jadi sedikit menegangkan dan bikin saya deg-degan dan penasaran ingin tahu perubahan apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. Selain unsur tersebut, satu lagi yang membuat film ini menjadi sangat menarik adalah kita bisa melihat proses pembuatan sound effect secara alami di film ini. Hal tersebut terjadi karena CD effect yang mereka miliki terkunci di ruangan lain. Oleh karena itu secara terpaksa mereka harus membuat sound effect sendiri (dengan bantuan seorang kakek). Dan hal tersebut menurut saya sangat mengagumkan 😀

Well, segini aja deh review dari saya. Overall, saya sangat menyukai film ini. Dan meskipun baru sedikit film-film Mitani Koki yang sudah saya tonton, menurut saya ini adalah karyanya yang terbaik. Film ini juga termasuk film yang bisa saya tonton berulang kali. 4 bintang untuk film ini 😀

Trivia: Dalam film ini Mitani Koki tampaknya melakukan tribute untuk sutradara terkenal Itami Juzo (1933-1997). Hal tersebut terlihat dari kemunculan Watanabe Ken yang berperan sebagai seorang supir truk yang sedang mendengarkan siaran drama radio di truknya. Watanabe Ken sendiri juga pernah berperan sebagai seorang supir truk dalam film Itami Juzo yang berjudul Tampopo. Selain itu, di film ini juga ada penampilan cameo dari Miyamoto Nobuko, istri dari Itami Juzo yang juga membintangi sebagian besar film karya suaminya.

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Setiap orang pasti memiliki impian untuk menjadi orang yang istimewa, tidak biasa, dan berbeda dari orang lainnya. Tapi tidak dengan cowok berusia 14 tahun bernama Sumida Yuichi (Sometani Shota). Satu-satunya impian Sumida adalah menjadi orang biasa dan menjalani hidup yang biasa. Bukan hidup yang bahagia, tapi juga bukan hidup yang tidak bahagia. I want to live quietly like a mole, itulah mimpi Sumida. Tapi takdir berkata lain. Hidupnya tidak akan pernah bisa menjadi biasa. Ia tinggal berdua dengan ibunya. Mereka hidup dari uang hasil usaha penyewaan boat. Sang ayah (Mitsuishi Ken) yang sudah lama berpisah dengan mereka sering datang untuk mengancam dan mengambil uang Sumida. Dan suatu hari, ibunya pun diam-diam pergi meninggalkannya. Bagaimana bisa ia menjalani hidup yang biasa dengan latar belakang seperti itu?

Lalu ada Chazawa Keiko (Nikaido Fumi). Anak orang kaya ini sangat tergila-gila pada Sumida. Ia juga bisa dikatakan sebagai stalkernya Sumida, selalu memperhatikan Sumida dan bahkan mengkoleksi kata-kata yang pernah diucapkan cowok itu. Ia juga punya impian sederhana, yaitu hidup dengan laki-laki yang ia cintai, saling melindungi satu sama lain, dan kemudian meninggal dengan senyuman. Tapi Keiko juga punya latar belakang keluarga yang suram. Apakah suatu saat impiannya akan terkabul?

Suatu hari, keinginan Sumida untuk hidup dengan biasa tampaknya tidak akan pernah terwujud lagi. Ia melakukan suatu tindakan kriminal yang berhubungan dengan ayahnya. Sejak saat itu, Sumida bertekad untuk melakukan suatu kebaikan terhadap masyarakat, yaitu dengan ‘membasmi’ orang-orang yang selalu menimbulkan kesulitan bagi orang lain. Apa yang akan terjadi selanjutnya pada Sumida? Mampukah ia melakukan hal tersebut?

Film berjudul Himizu yang disutradarai Sono Sion (Love Exposure, Suicide Club) ini merupakan film yang diangkat dari manga berjudul sama karya Furuya Minoru. Film ini sendiri cukup banyak memiliki perbedaan dengan manganya, salah satunya adalah latar waktu di filmnya yang disesuaikan dengan keadaan saat ini, tepatnya pada peristiwa setelah bencana tsunami di Jepang tahun 2011 lalu. Oleh karena itu, film ini juga bisa dilihat dari sudut pandang bencana tersebut, yaitu bagaimana dampak tsunami terhadap kondisi sosial dan psikologis masyarakat Jepang saat itu (selain tokoh Sumida, kita juga akan diperkenalkan pada karakter orang-orang yang menumpang tinggal di tanah milik Sumida, orang-orang yang kehilangan rumahnya akibat tsunami).

Mengenai film ini sendiri, saya sendiri rada susah untuk menggambarkan apa kelebihan atau kekurangan dari film ini, apakah ini film yang bagus atau bukan, atau semacamnya. Film ini memang tidak sebagus film-film Sono Sion yang sebelumnya, dan juga mungkin akan mengecewakan bagi sebagian orang. Tapi yang jelas, film ini berhasil membuat saya merasa terbawa ke dalam ceritanya. Film ini sendiri dapat dimasukkan ke kategori “film depressing”. Tapi depressing di sini adalah depressing yang enak diikuti, bukan tipe depressing yang bikin kamu merasa gak kuat dan gak mau lanjut nonton lagi. Ini adalah jenis film depressing yang bisa saya tonton berulang kali. Film ini juga berhasil membuat saya tertarik dan peduli terhadap tokoh-tokoh di dalamnya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh akting yang cemerlang dari kedua pemeran utamanya, yaitu Sometani Shota dan Nikaido Fumi (yang sama-sama mendapat penghargaan “Marcello Mastroianni Award” di Venice Film Festival berkat akting mereka di film ini). Sulit rasanya membayangkan ada aktor/aktris muda yang bisa memerankan tokoh Sumida & Keiko sebaik mereka. Pemeran-pemeran lainnya yang kebanyakan sudah pernah bermain di film-film garapan Sono Sion pun turut menampilkan akting yang bagus dan memperkuat film ini.

Meskipun diangkat dari manga, film ini sendiri tetap tidak kehilangan ciri khas Sono Sion. Penggunaan narasi (meskipun sedikit), penggunaan puisi, penggunaan musik klasik, dan kekerasan (tapi kadarnya masih rendah kok), semuanya ada di sini. Film ini juga memiliki kemiripan dengan beberapa film Sono Sion sebelumnya yang selalu bercerita tentang ‘perjalanan’ psikologis manusia yang dipengaruhi oleh suatu hal (bisa tragedi, ataupun hal-hal lainnya). Jadi, untuk penggemar Sono Sion, film ini tentunya adalah film yang tidak boleh dilewatkan.

Well, secara keseluruhan saya sangat menyukai film ini. Ini adalah film yang depressing. Tapi film ini juga menunjukkan bahwa meskipun dunia seolah bertindak tidak adil terhadap kita dan kejahatan akan selalu ada, kita tetap boleh memiliki harapan. Yeah, film ini memiliki pesan yang sangat simpel dan digambarkan dengan sangat jelas (tapi tidak sampai merusak esensi filmnya), yaitu “jangan menyerah, dan bermimpilah”. Oke, 4 bintang deh untuk film ini 🙂

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

1. Fine, Totally Fine (Japan, 2008)

Seperti yang pernah saya bilang di review Flipped, hal paling menyenangkan ketika menonton film adalah ketika kita tidak menyimpan ekspektasi apa-apa terhadap film tersebut dan ternyata film tersebut berhasil memuaskan kita. Perasaan itu kembali saya rasakan ketika menonton film Fine, Totally Fine yang merupakan debut penyutradaraan dari Fujita Yosuke. Menonton film ini tanpa mengetahui informasi apapun (kecuali pemainnya) dan film ini sukses mengejutkan saya dengan keunikan dan kesederhanaan yang dimilikinya. Film ini sendiri bercerita tentang kisah cinta segitiga yang sangat unik (dan sebenarnya tidak sekadar tentang cinta segitiga). Teruo (Arakawa YosiYosi), si penggemar segala hal tentang horror yang terobsesi ingin membuat rumah hantu yang hebat dan teman sejak kecilnya Hisanobu (Okada Yoshinori), seorang manager rumah sakit yang baik hati dan tidak pernah tega menolak permintaan orang lain sama-sama jatuh cinta pada Akari (Kimura Yoshino), seorang perempuan yang cantik tapi pemalu dan sangat ceroboh. Premis yang super simpel, tapi dieksekusi menjadi sangat unik dan manis. Letak keunikannya tentu saja ada pada unsur komedinya yang benar-benar lucu, meskipun lucu di sini bukanlah tipe lucu untuk semua orang terutama yang tidak terbiasa dengan film komedi khas Jepang. Dan yang saya kagumi dari film ini (dan kebanyakan film Jepang yang lain) adalah segala keunikan dan keanehan tersebut ditempatkan pada latar kehidupan sehari-hari, sehingga meskipun terlihat aneh film ini tetap bisa terlihat sederhana dan membumi. Dan humor-humor yang ada di film ini dihadirkan pada suasana yang tenang dan tidak lebay. Secara keseluruhan, jika kamu menyukai film-film komedi ala Miki Satoshi (Adrift in Tokyo) atau Ishii Katsuhito (The Taste of Tea), mungkin kamu akan menyukai film ini juga karena gaya komedinya cenderung mirip. Yang jelas saya sangat menantikan film-film yang akan disutradarai Fujita Yosuke selanjutnya. Recommended. 4/5

2. Love Me If You Dare (France, 2003)

Film komedi romantis dari Prancis, dibintangi Marion Cotillard dan Guillaume Canet. Bercerita tentang seorang perempuan dan laki-laki yang bersahabat sejak kecil dan sebenarnya saling menyimpan perasaan cinta yang belum mereka disadari. Julien dan Sophie (kedua sahabat tersebut) memiliki sebuah permainan yang mereka mainkan sejak kecil, di mana pada permainan tersebut mereka saling memberikan tantangan yang berbeda-beda kepada satu sama lain. Dan ketika dewasa, permainan tersebut terus berlanjut. Sampai di suatu hari Sophie menantang Julien untuk menciumnya, semuanya berubah. Apakah hal tersebut semata-mata hanya permainan bagi Julien? Bagaimana sebenarnya perasaannya yang sebenarnya terhadap Sophie? Somehow, ini adalah film yang ketika selesai menontonnya saya sulit menentukan apakah saya suka atau tidak terhadap filmnya. Kisah romance antara Julien dan Sophie itu saya akui manis dan unik. Tapi di sisi lain saya merasa permainan yang mereka lakukan itu sudah sampai taraf keterlaluan. Saya juga merasa kasihan terhadap orang-orang di sekeliling mereka, yang terkena imbas dari permainan yang mereka lakukan (mungkin film ini menganut peribahasa “ketika dua orang jatuh cinta, dunia serasa milik berdua, yang lain cuma ngontrak” kali ya). Dan jika saya menemukan dua orang yang seperti Julien dan Sophie di dunia nyata, saya pasti bakalan benci banget mereka berdua, hehe. Tapi di luar semua itu, film ini lumayan menarik dan menghibur meskipun kisahnya kurang believable untuk terjadi di dunia nyata. Cocok ditonton penyuka film romance yang unik dan tidak biasa. 3/5

3. The Woodsman and the Rain (Japan, 2011)

Percayakah kamu pada keajaiban dari proses pembuatan film? Bahkan untuk pembuatan b-movie yang sering dianggap remeh oleh sebagian orang? Meskipun belum pernah melihat proses pembuatan film secara langsung, setelah menonton film ini saya yakin bahwa proses pembuatan film adalah suatu hal yang ajaib dan bisa memengaruhi banyak orang, termasuk bukan penyuka film sekalipun. Koichi (Oguri Shun), seorang sutradara muda yang sangat pemalu, sedang membuat film zombie di sebuah desa. Koichi dan kru-nya tidak sengaja bertemu dengan Katsuhiko (Yakusho Koji), seorang penebang kayu yang sangat jauh dari dunia film dan bahkan tidak pernah mendengar kata “zombie”. Karena tidak begitu mengenali lokasi yang mereka gunakan, Koichi dan kru-nya pun meminta Katsuhiko untuk membantu mereka mencari beberapa lokasi yang bagus di desa tersebut. Tidak hanya itu, mereka pun meminta Katsuhiko untuk berperan sebagai figuran (sebagai salah satu zombie). Katsuhiko yang awalnya tidak begitu tertarik lama-lama jadi antusias dan menjadi sangat bersemangat membantu mereka, bahkan ia pun mengajak warga desa yang lain untuk ikut membantu para kru film tersebut. Hal tersebut juga rupanya memengaruhi diri Koichi dan kepercayaan dirinya sebagai sutradara. Secara keseluruhan, saya sangat menyukai film ini. Film ini begitu heartwarming, dan kecintaan saya pada film menjadi semakin bertambah setelah menonton film ini.  Tidak hanya itu, akting dan chemistry antara Yakusho Koji dan Oguri Shun pun sangat baik dan menambah bagusnya film ini. Film ini juga banyak mengandung momen-momen lucu, terutama di adegan-adegan ketika Katsuhiko membantu para kru film. Well, film ini cocok ditonton bagi pecinta film pada umumnya, terutama yang percaya pada keajaiban dari proses pembuatan film. 4/5

Read Full Post »

Saitou Kazumi dan Saitou Kazuo, nama keluarga serta nama kecil mereka memang mirip, tapi mereka sama sekali tidak memiliki hubungan darah. Mereka berdua berteman ketika mereka masih duduk di bangku TK, bahkan waktu kecil Kazuo (diperankan Morita Naoyuki) pernah berjanji untuk menikahi Kazumi (diperankan Renbutsu Misako) di saat dewasa nanti. Namun sayangnya pertemanan mereka hanya berjalan sangat singkat karena Kazuo kemudian pindah ke kota lain karena pekerjaan ayahnya.

Bertahun-tahun kemudian, di usianya yang kelima belas, Kazuo akhirnya pindah kembali ke kampung halamannya bersama dengan ibunya (kedua orang tuanya baru saja bercerai). Di sekolahnya yang baru, Kazuo ditempatkan di kelas yang sama dengan Kazumi. Kazumi pun langsung mengenali Kazuo begitu cowok itu diperkenalkan di depan kelas (bahkan tanpa malu-malu menceritakan cerita memalukan yang pernah dialami Kazuo waktu kecil ke seisi kelas). Di waktu pulang sekolah, Kazumi mengajak (atau lebih tepatnya memaksa) Kazuo untuk ke rumahnya yang merupakan restoran soba. Setelah kunjungan itu, Kazumi mengajak Kazuo ke Spring of Sabishira, yang merupakan sumber dari air yang digunakan keluarga Kazumi untuk membuat soba. Ketika mereka mau mengambil air dari kolam di  tempat itu, mereka berdua malah terjatuh ke dalam kolam tersebut. Setelah mereka berdua berhasil keluar dari kolam tersebut, Kazuo langsung pulang duluan ke rumahnya tanpa menyadari ada yang aneh pada dirinya. Dan begitu ia bercermin di rumahnya, ia akhirnya menyadari bahwa tubuh yang ia tempati adalah tubuh Kazumi. Kazuo pun langsung mencari Kazumi ke rumahnya, dan hal yang sama juga terjadi pada Kazumi yang sekarang menempati tubuhnya. Setelah berbagai macam keributan, mereka pun setuju untuk membiarkan dulu keadaan mereka saat ini untuk sementara. Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Kazumi dan Kazuo akan berhasil kembali ke tubuh mereka masing-masing? Apalagi, pada suatu hari kejadian tak terduga menimpa Kazuo yang masih berada di tubuh Kazumi…

Switching – Goodbye Me (judul aslinya “Tenkousei: Sayonara Anata” yang punya arti harfiah “Murid Pindahan, Selamat Tinggal Kamu”) adalah sebuah film yang disutradarai oleh Obayashi Nobuhiko ( sutradara dari film horror menakjubkan Hausu dan Toki o Kakeru Shojo/The Girl who Leapt Through Time versi jadul). Film ini diangkat dari novel yang ditulis oleh Yamanaka Hisashi dan juga merupakan remake dari film rilisan tahun 1982 berjudul “I Are You, You Am Me” yang disutradarai oleh Obayashi Nobuhiko juga. Ya, baru kali ini saya mendengar ada sutradara yang meremake filmnya sendiri. Saya sendiri belum menonton versi originalnya yang memiliki rentang waktu 25 tahun dengan versi yang ini, tapi saya saaaaangat menyukai versi filmnya yang ini. Ide cerita film ini sendiri, yaitu tentang cewek dan cowok yang bertukar tubuh, memang tidak original dan rasanya sudah sering diangkat menjadi tema dari banyak film. Namun biarpun begitu, film dengan ide seperti itu menurut saya tetap menarik untuk ditonton karena biasanya selalu menawarkan adegan-adegan yang lucu dan menghibur. Begitu juga dengan film ini. Banyak kejadian lucu yang ditimbulkan setelah Kazumi dan Kazuo bertukar tubuh secara tidak sengaja, dan adegan-adegan tersebut lumayan bikin saya nyengar-nyengir sendiri. Film ini sendiri cukup ringan dan gampang dimengerti penontonnya. Namun, biar begitu film ini bukan sekadar film komedi yang fungsinya cuma bikin penontonnya ketawa. Film ini ternyata juga memiliki muatan yang cukup ‘dalem’ dan bikin penontonnya mikir, terutama tentang manusia, cinta, keluarga, pengorbanan, pendewasaan, kelahiran, sampai kematian.

Tidak seperti film Jepang kebanyakan yang biasanya bertempo lambat, film ini memiliki tempo yang cukup cepat sehingga durasinya yang hampir dua jam menjadi tidak terasa sama sekali. Di satu jam pertama, film ini tampak seperti film komedi yang ringan nan menyenangkan, tapi di satu jam terakhir filmnya berubah menjadi dramatis dan melankolis. Dan yang saya suka adalah perubahan tersebut diperlihatkan dengan sangat halus dan gak maksa. Well, saya gak mau spoiler tapi dari judulnya mungkin sudah ketebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang jelas, film ini adalah tipe film yang akan membuat kamu tertawa-tawa di awal-awal dan kemudian berakhir dengan air mata di wajah ketika film ini selesai (ya, saya nangis di beberapa adegan terakhir). Dan seperti yang saya bilang sebelumnya, film ini memiliki makna yang cukup dalem tentang manusia dan kehidupan, seperti bagaimana seseorang kadang-kadang harus menjadi orang lain dulu sebelum bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri, atau bagaimana seseorang baru bisa memerhatikan dirinya sendiri ketika berada di tubuh orang lain, dan juga tentang pengorbanan terhadap orang yang dicintai.

Selain hal-hal di atas, akting juga merupakan salah satu kekuatan film ini. Saya sangat menyukai akting Renbutsu Misako di sini, mulai dari ketika ia masih menjadi Kazumi sampai ketika ia menjadi Kazuo. Morita Naoyuki sebagai Kazuo juga berakting baik di sini, dan ia juga berhasil memerankan sosok perempuan yang terjebak di tubuh laki-laki dengan baik. Namun sayangnya kepribadian Kazumi yang sebelumnya digambarkan sebagai seseorang yang memiliki imajinasi liar menjadi tidak terlihat ketika ia berada di tubuh Kazuo. Pemeran-pemeran lainnya, seperti pemeran ibu Kazuo serta keluarga Kazumi juga berhasil memerankan peran mereka masing-masing dan turut menghidupkan film ini. Begitu juga dengan aktor dan aktris yang berperan sebagai Hiroshi dan Akemi yang merupakan pacar (dan mantan pacar) dari Kazumi dan Kazuo yang menampilkan penampilan yang bisa diterima meskipun tidak spesial. Selain akting, sinematografi juga menjadi salah satu kelebihan dari film ini. Sinematografinya indah dan juga sedikit unik karena gambar-gambar di film ini banyak diambil dari angle yang sedikit miring (tapi masih enak dilihat dan gak bikin pusing kok). Selain itu saya juga menangkap kesan agak jadul dari sinematografi (yang didominasi warna kekuningan) serta suasana-suasana di film ini (well gimana ya menjelaskannya, yang jelas nuansanya  mengingatkan saya pada nuansa jadul di film-film Obayashi sebelumnya yang saya sebutkan di atas). Film ini juga memiliki musik yang bagus dan turut memperkuat film ini,

Secara keseluruhan, menurut saya film ini recommended. Cocok ditonton oleh penyuka film-film yang manis sekaligus pahit (atau bittersweet gitu deh istilah enggresnya). Dan yang jelas ini adalah tipe film yang akan sering saya tonton berulang kali. 4 bintang deh 🙂

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

“Do you know what tomorrow is? Tomorrow is my birthday.”

Iwai Shunji adalah sutradara Jepang pertama yang saya apresiasi. Maksudnya, sebelum menonton film-filmnya Iwai Shunji, saya termasuk tipe orang yang suka nonton film (dalam hal ini, film Jepang) tanpa peduli siapa sutradaranya. Tapi setelah menonton Hana and Alice dan All About Lily Chou-Chou (salah dua film yang disutradarai Iwai Shunji dan merupakan film-film favorit saya sepanjang masa), saya merasa perlu untuk mencari dan menonton karya-karyanya yang lain. Dan setelah itu, saya jadi mulai memperhatikan sutradara-sutradara film Jepang lainnya (tapi Iwai Shunji tetap akan mendapat tempat pertama di hati saya :)).

Saya sudah menonton hampir semua film yang disutradarai Iwai Shunji. Tapi menonton Ritual (judul asli: Shiki-Jitsu) adalah pengalaman pertama saya dalam melihatnya berakting. Ritual sendiri adalah sebuah film yang disutradarai oleh Anno Hideaki (yang terkenal sebagai sutradara anime legendaris Neon Genesis Evangelion). Di film ini, Iwai berperan sebagai seorang pria yang baru saja kembali ke kampung halamannya. Di hari pertama di kampung halamannya, ia melihat seorang perempuan aneh (diperankan Fujitani Ayako) sedang tiduran di rel kereta api sambil memegang payung berwarna merah. Beberapa saat kemudian, ia bertemu lagi dengan perempuan itu. Perempuan itu lalu berkata bahwa yang ia lakukan di rel kereta api tadi adalah sebuah ritual. Selain itu, ia juga memberitahu pria itu bahwa besok adalah hari ulang tahunnya.

Keesokkan harinya, pria itu datang lagi menemui si perempuan aneh yang masih melakukan ritualnya di rel kereta api. Pria tersebut datang dengan membawa kado ulang tahun untuk perempuan itu. Tapi perempuan itu menolaknya sambil berkata “ulang tahunku besok”. Besok dan besoknya lagi, pria itu kembali menemui perempuan itu. Dan perempuan itu tetap meracau bahwa besok adalah hari ulang tahunnya. Di hari keempat, perempuan itu mengajak si pria ke tempat tinggalnya. Tempat tinggal perempuan itu adalah sebuah bangunan beberapa lantai yang hanya diisi oleh “barang-barang yang disukai” perempuan itu. Pria tersebut juga akhirnya mengetahui bahwa perempuan itu masih punya beberapa ritual lainnya. Salah satunya adalah ritual “berdiri di tepian atap rumahnya”. Jika ia bisa berdiri tanpa berusaha melompat, maka artinya dia baik-baik saja. Di hari ketujuh, pria itu memutuskan untuk tinggal bersama dengan perempuan itu. Lalu diketahui bahwa pria tersebut ternyata berprofesi sebagai sutradara dan sejak saat itu ia berusaha memfilmkan kegiatan sehari-hari si perempuan.

Saya sudah menyukai film ini sejak adegan pertama film ini dimulai. Yeah, adegan pertama di film ini, yaitu ketika Iwai Shunji memandangi Fujitani Ayako (yang balas memandangnya sambil tersenyum) di rel kereta api itu memang sangat menarik perhatian dan membuat saya langsung berpikir “wah filmnya pasti aneh nih” dan “wah, kayaknya saya bakal suka banget film ini” (fyi, sebelum menonton film ini saya sama sekali tidak tahu informasi apapun tentang film ini kecuali Iwai Shunji bermain di dalamnya dan Anno Hideaki adalah sutradaranya). Dan setelah adegan itu, semakin lama filmnya menjadi semakin menarik. Menonton film ini mungkin akan membuat kita merasakan sesuatu yang sama dengan yang dirasakan karakter yang diperankan Iwai (yang tidak diketahui namanya dan hanya dipanggil dengan sebutan “Kantoku”/”Sutradara”). Yeah, seperti pada Kantoku, kita akan dibuat untuk terus tertarik dan penasaran ingin mengetahui lebih jauh tentang perempuan itu (yang juga sama sekal tidak diketahui namanya). Si perempuan memang punya kepribadian yang sangat unik dan menarik. Ia selalu berkata bahwa besok adalah hari ulang tahunnya. Dia juga selalu ceria dan selalu tersenyum. Tapi kita tahu bahwa sebenarnya ia hanyalah perempuan kesepian yang mencoba menciptakan dunianya sendiri untuk mengusir kesendiriannya. Ia juga hanyalah perempuan biasa yang butuh orang lain untuk selalu berada di sampingnya (dalam hal ini si Kantoku). Dapat ditebak bahwa ia punya masa lalu yang menyakitkan (yang tampaknya ada hubungannya dengan keluarganya) dan berusaha lari dari kenyataan yang menyakitkan tersebut. Sementara itu, Kantoku adalah kebalikan dari si perempuan. Seperti yang telah diketahui, ia adalah seorang sutradara yang ingin membuat film live action (sepertinya aslinya dia adalah sutradara anime, sama seperti Anno-sensei). Itu berarti dia dekat dengan dunia-dunia yang bersifat fiksi, dan menjadi lelah karena hal itu. Usahanya memfilmkan si perempuan adalah usahanya untuk lari dari dunia fiksi dan kembali ke kenyataan, meskipun hal tersebut seperti kontradiksi karena si perempuan sendiri berusaha lari dari dunia nyata.

Selain hal di atas, yang saya suka lagi dari film ini adalah sinematografinya yang sangat indah dan memberi kesan puitis. Film ini memang punya gambar-gambar yang indah, dan yang paling saya suka adalah keindahan tersebut ditempatkan pada keanehan. Yang paling saya suka adalah bangunan tempat tinggal si perempuan. Tempat tinggalnya itu terlalu aneh untuk disebut sebagai rumah. Isi dari tempat tinggal tersebut pun terlihat sangat ganjil. Namun, sutradaranya berhasil menampilkan keganjilan pada tempat tersebut menjadi sangat indah (terutama pada bagian basement yang gelap dan ‘banjir’, tapi terlihat sangat artistik dengan penempatan payung-payung warna merahnya). Film ini juga punya sentuhan dokumenter, seperti digambarkan pada usaha memfilmkan kegiatan sehari-hari si perempuan. Dan karena Anno Hideaki juga merupakan sutradara anime, di film ini juga disisipkan beberapa sentuhan animasi yang turut membuat film ini menjadi semakin unik. Di luar sinematografinya, saya juga sangat menyukai dialog-dialog dan interaksi antara Kantoku dan si perempuan. Begitu juga dengan narasinya yang dibawakan dengan sangat baik oleh Matsuo Suzuki dan Hayashibara Megumi.

Dari segi akting, Iwai Shunji tampaknya tidak mengalami kesulitan karena perannya tidak jauh-jauh dari profesinya sendiri dan juga tidak memiliki kompleksitas yang rumit. Bintang utama dari film ini tentu saja adalah Fujitani Ayako, yang aktingnya menjadi kejutan terbesar di film ini dan membuat saya terus tertarik untuk mengikuti filmnya. Saya cuma pernah melihat dia sebagai pemeran pendukung di Atami no Sousakan dan sebagai pemeran utama di salah satu segmen di film Tokyo!, sehingga aktingnya di sini membuat saya terkejut karena dia bisa berakting sebegitu bagusnya (dan kejutan yang lain: dia adalah anaknya Steven Seagal!). Tapi kejutan yang paling besar adalah film ini ternyata merupakan film yang diangkat dari novel yang ditulisnya sendiri. Buku dengan judul Touhimu tersebut bergenre fiksi, tapi di beberapa sumber buku ini juga disebut-sebut sebagai semi-autobiografi dari Fujitani Ayako berdasarkan pengalaman akan keterasingannya ketika tinggal di Los Angeles. Hal tersebut membuat saya bertanya-tanya apakah aktingnya di Ritual memang benar-benar ‘akting’ 😀

Well, secara keseluruhan saya sangat menyukai film ini. Satu-satunya yang menjadi poin minus film ini menurut saya cuma endingnya yang digambarkan terlalu jelas. Ya, di sebagian pertama filmnya kita bisa melihat bahwa permasalahan yang dialami si perempuan hanya diperlihatkan secara samar dan melalui beberapa penyimbolan. Di bagian akhir, permasalahan tersebut langsung dijelaskan secara sejelas-jelasnya, yang membuat penonton tidak perlu mereka-reka lagi mengenai apa yang terjadi sebenarnya pada si perempuan itu. Namun, mungkin ending seperti itu adalah ending yang paling cocok untuk film ini.Yosh, menurut saya film ini cocok ditonton oleh penyuka film yang “nyikologis”, penyuka film-film yang artistik, dan penyuka film yang puitis. Film ini juga cocok untuk ditonton penggemar Iwai Shunji yang mungkin penasaran ingin melihat seperti apa ketika dia berakting. 4 bintang 😀

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Blog ini tampaknya semakin lama semakin penuh dengan review Jejepangan ya. Maka dari itu, untuk menjaga agar blog ini tetap kembali ke akarnya (akar random maksudnya), kali ini saya akan mereview sebuah film yang bukan berasal dari negeri sakura itu. Film yang akan saya review kali ini adalah sebuah film asal Prancis dengan judul “Tomboy”,  yang disutradarai oleh Céline Sciamma.

Tomboy bercerita tentang seorang anak kecil berusia 10 tahun yang bernama Laure (Zoé Héran). Jika kita menonton film ini tanpa melihat judulnya terlebih dahulu, kita mungkin akan mengira Laure adalah seorang anak laki-laki. Rambutnya pendek, dan pakaian yang biasa dikenakannya adalah pakaian-pakaian yang biasa dipakai anak laki-laki. Tapi tentu saja, melalui judulnya sudah pasti kita akan bisa menebak bahwa dia hanyalah anak perempuan yang punya sifat tomboi. Laure sendiri diceritakan sebagai anak yang baru saja pindah rumah. Ia memiliki keluarga yang normal: ibu (yang sedang hamil), ayah, dan adik perempuan yang bernama Jeanne (yang tampaknya merupakan kebalikan dari Laure karena punya penampilan yang “cewek banget”). Sebagai anak kecil, Laure menjalani hidup yang normal dan tanpa kesulitan yang berarti.

Sebagai seorang “anak baru” di lingkungan barunya, Laure mulai keluar dari rumahnya untuk mencari teman bermain. Orang yang pertama ia temui adalah seorang anak perempuan bernama Lisa (Jeanne Disson). Lisa mengajaknya berkenalan, dan Laure memperkenalkannya dirinya sendiri dengan nama “Mickael”. Setelah itu, Lisa mulai memperkenalkan Laure/Mickael kepada anak-anak yang lain (yang kebanyakan anak laki-laki). Dari nama serta penampilannya, tentu saja anak-anak yang lain memperlakukan Laure sebagai laki-laki. Setelah hari itu, Laure mulai sering bermain dengan anak-anak itu. Dan Laure sendiri tampaknya merasa dirinya tidak cukup meyakinkan sebagai anak laki-laki. Ia mulai melakukan berbagai cara agar dirinya semakin mirip anak laki-laki, mulai dari membuka baju ketika sedang bermain bola sampai membuat penis buatan dari clay ketika mau berenang bersama teman-temannya. “Kelaki-lakian” Laure tampaknya memang sangat meyakinkan, sampai-sampai Lisa pun jatuh cinta padanya. Lalu, apa yang akan terjadi pada Laure selanjutnya? Apakah suatu saat identitas aslinya sebagai anak perempuan akan ketahuan oleh teman-temannya yang lain? Apakah suatu saat orang tua Laure akan mengetahui bahwa selama ini anak perempuan mereka berpura-pura jadi laki-laki di hadapan teman-temannya?

Anak kecil dan krisis identitas, kedua hal tersebut merupakan dua hal utama yang menjadi inti cerita film ini. Setiap orang pasti pernah merasakan sesuatu yang dinamakan krisis identitas, dan hal tersebut bisa saja terjadi ketika mereka masih kecil. Krisis identitas yang dialami Laure adalah krisis identitas yang berkaitan dengan gendernya. Ia adalah perempuan, tapi ia terlihat lebih nyaman berpakaian dan berlaku seperti anak laki-laki. Seperti cara pemikiran anak kecil yang sederhana, film ini juga mengalir dengan sederhana. Dan yang saya suka adalah, sutradaranya tidak berusaha membuat filmnya menjadi kelihatan muluk-muluk. Permasalahan yang dialami Laure tidak dibuat sebagai permasalahan yang sangat berat, tapi permasalah tersebut juga tidak lantas dibuat sebagai permasalahan enteng. Hal itu membuat film ini terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari, karena permasalahan yang dialami Laure adalah permasalahan yang sangat mungkin dialami oleh anak kecil manapun.

Anak kecil dan krisis identitas. Jika ada satu kata yang bisa menggambarkan salah satu sifat anak kecil, kata itu pastilah “labil”. Tidak seperti orang dewasa, isi pikiran anak kecil masih sangatlah sederhana. Hal itu membuat seorang anak menjadi senang mencoba hal baru yang ia sendiri tidak mengerti. Hal itu menumbuhkan sifat labil tersebut, di mana seorang anak masih memiliki kesulitan untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk bagi mereka. Oleh karena itu, krisis identitas yang dialami anak kecil sering kali bersifat sementara dan tergantung dari cepat atau tidaknya penanganan pihak lain (orang tua) terhadap krisis tersebut. Jika melihat Laure, kita mungkin akan dibuat bertanya-tanya, apakah dia memang sungguh-sungguh ingin jadi laki-laki? Apakah ia memang memiliki perasaan (seksual) terhadap Lisa? Atau apakah segala hal yang ia lakukan dilakukan cuma supaya ia tidak ditolak dari pergaulan barunya? Seperti yang saya bilang sebelumnya, sutradara film ini tampaknya tidak berusaha membawa permasalahan dalam film ini ke tingkat yang seserius itu (dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, lebih baik kembali lagi pada judulnya, Tomboy :D). Film ini hanya menunjukkan krisis identitas gender dari kacamata Laure, anak kecil biasa yang kepribadiannya belum terbentuk sepenuhnya. Ketomboian yang dimiliki Laure masih bisa dijelaskan dengan akal sehat. Dapat dilihat bahwa Laure memiliki insecurity sebagai perempuan. Apalagi di film ini juga diceritakan bahwa ia memiliki adik perempuan yang pernah dibully, dan sifat dasar seorang kakak adalah melindungi adiknya. Namun, Laure tampaknya menjadi lebih percaya diri jika ia bisa melindungi adiknya dalam wujud laki-laki. Dan karena kepribadian Laure belum terbentuk sepenuhnya, tidak butuh penyelesaian luar biasa dalam mengatasi krisis yang dialaminya. Namun, hal tersebut tentunya akan menjadi suatu pembelajaran bagi pendewasaan diri Laure.

Selain hal-hal di atas, yang paling saya suka di sini adalah akting dari para pemainnya. Salut untuk Zoé Héran yang sangat meyakinkan sebagai anak perempuan yang tomboi di sini (sampai-sampai ia menjadi terlihat sangat aneh ketika memakai pakaian perempuan :D).  Jangan dilupakan Malonn Lévana yang begitu adorable sebagai Jeanne, adik perempuan Laure yang begitu lucu dan menggemaskan. Pemeran anak-anak kecil lainnya pun (seperti yang jadi Lisa) turut bermain dengan baik di sini. Dan pemeran orang tua Laure pun sangat pas aktingnya di sini. Mereka (terutama sang ibu) sukses memerankan karakter orang tua yang membebaskan anaknya untuk melakukan apapun, tapi tetap punya sikap dan ketegasan ketika anaknya mengalami masalah. Overall, saya sangat menyukai film ini. Film ini menurut saya berhasil menggambarkan krisis identitas yang dialami anak kecil dengan manis dan sederhana, sesederhana pikiran anak kecil. 4 bintang deh 🙂

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Older Posts »