Feeds:
Posts
Comments

Archive for June, 2012

Dorama ini bercerita tentang sebuah sekolah dasar di sebuah desa yang hanya memiliki satu orang murid saja. Desa tempat sekolah itu berada memang termasuk desa yang sepi dan sebagian besar penduduknya adalah orang-orang yang sudah berumur. Selain hanya memiliki satu orang murid (yang bernama Yabuki Tappei), SD bernama Mori no Mizu itu juga hanya memiliki sedikit kru, yaitu satu orang kepala sekolah (diperankan Osugi Ren), satu orang guru kepala (diperankan Kakei Toshio), satu orang perawat sekolah (diperankan Fubuki Jun), dan satu orang guru/wali kelas yang merupakan guru transfer dari Tokyo yang bernama Terusaki Aiko (Kuninaka Ryoko).

Suatu hari, sekolah tersebut diminta untuk bekerja sama dalam rural study program, di mana pada program tersebut lima orang anak didatangkan dari Tokyo untuk belajar di Mori no Mizu. Rural study program tersebut tentu saja menjadi kesempatan besar bagi Mori no Mizu untuk menaikkan citranya. Selain itu, program tersebut juga diharapkan dapat mencegah sekolah tersebut dari ancaman penutupan karena muridnya yang hanya satu orang itu. Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Lima orang anak itu sampai juga di desa tersebut dan memulai harinya sebagai murid Mori no Mizu bersama-sama dengan Tappei. Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah rural study program itu akan berjalan dengan lancar? Apakah lima anak dari Tokyo itu (beserta Tappei) akan betah belajar di Mori no Mizu? Dan apakah program tersebut akan berhasil mencegah sekolah tersebut dari ancaman penutupan? Tonton aja deh 😀

Minna Mukashi wa Kodomo Datta, secara harfiah kalimat tersebut memiliki arti “Kita semua dulunya anak kecil”. Dan seperti itulah dorama ini. Menonton dorama ini mungkin akan membuatmu kembali mengingat perasaan-perasaan yang pernah kamu rasakan ketika masih kecil. Perasaan saat pertama kali mempelajari hal baru, perasaan ketika bermain bersama teman-teman pertamamu, perasaan ketika pertama kali jatuh cinta, dan berbagai macam perasaan-perasaan lainnya yang mungkin sudah lama terlupa dari ingatan kita. Dorama ini memang menampilkan anak-anak selayaknya anak-anak. Dari mana pun asalnya, mau dari Tokyo seperti Momo, Shion, Shin, Fuuta, dan Wataru (nama anak-anak yang ikut rural study program) ataupun anak asli desa seperti Tappei, anak-anak tetaplah anak-anak. Hal itu membuat dorama ini terlihat sangat sederhana dan gak muluk-muluk seperti… katakanlah Laskar Pelangi (versi novel) yang sama-sama berkisah tentang sekolah di desa dengan murid yang hanya sedikit (well, saya suka novel itu tapi kadang-kadang saya merasa tokoh anak-anak di novel itu gak kayak anak-anak).

Ya, sederhana mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan dorama berjumlah 11 episode ini. Dorama ini emang sangat sederhana dan mungkin terlalu biasa jika dibandingkan dengan dorama sekolahan anak SD lainnya (seperti The Queen’s Classroom misalnya). Tapi kesederhanaannya itulah yang membuat dorama ini menjadi begitu enjoyable. Saya sendiri sangat menikmati menonton dorama ini. Saya menyukai ceritanya yang simpel dan gak muluk-muluk. Saya menyukai suasana pedesaannya yang begitu tenang dan bikin saya pengen tinggal di sana. Saya menyukai tokoh-tokohnya yang begitu lovable dan bikin saya pengen jadi bagian dari mereka. Pokoknya saya menyukai segala macam kesederhanaannya yang menjadikan dorama ini menjadi begitu heartwarming. Selain menampilkan anak-anak selayaknya anak-anak, dorama ini juga menampilkan hubungan anak-anak dengan sekitarnya, seperti hubungan anak-anak dengan orang tuanya, hubungan anak-anak dengan gurunya, dan hubungan anak-anak dengan lingkungan di sekitarnya. Intinya sih melalui dorama ini kita akan bisa lebih memahami dunia anak-anak.

Seperti yang saya bilang sebelumnya, salah satu hal yang paling saya suka di sini adalah karakter serta akting pemainnya. Kuninaka Ryoko sebagai pemeran utama dorama ini sangat berhasil memerankan karakter Aiko-sensei, guru transfer asal Tokyo yang selalu bersemangat dan ceria. Sekilas, karakter ini terlihat seperti tipikal karakter yang too good to be true ya karena terlalu baik dan sebagainya. Tapi saya senang karena di dorama ini juga diceritakan sedikit tentang masa lalunya ketika menjadi guru di Tokyo, yang membuat karakter ini menjadi tetap ‘manusia’ yang masih bisa melakukan kesalahan. Dan saya sangat menyukai caranya mengajar, di mana pelajaran yang diberikannya tidak sekadar pelajaran textbook saja, tapi juga pelajaran tentang kehidupan. Takanori Jinnai meskipun sering terlihat overacting tapi menurut saya tetap pas berperan di sini sebagai ayahnya Tappei (dan saya suka melihat hubungan ayah dan anak ini). Eita yang menjadi alasan utama saya menonton dorama ini juga berhasil memerankan perannya dengan baik sebagai Sagami “Masa-nii” Masa, anak kepala sekolah yang ditunjuk menjadi kepala asrama di tempat anak-anak itu tinggal. Masa-nii sendiri sebenarnya memiliki kualifikasi sebagai guru, tapi dia selalu merasa dia tidak pantas dengan pekerjaan tersebut. Di luar tiga karakter itu, pemeran-pemeran dewasa lainnya (seperti Shiraishi Miho, Osugi Ren, dll) juga berhasil menampilkan akting yang baik. Begitu juga dengan pemeran anak-anaknya yang berhasil menghidupkan perannya masing-masing dengan baik, terutama Fukasawa Arashi yang menampilkan akting yang cemerlang sebagai Tappei.

Well, secara keseluruhan, dorama ini menurut saya recommended. Cocok ditonton oleh penyuka dorama bergenre slice of life atau penyuka dorama dengan cerita yang simpel. Dan jika saya menyarankan The Queen’s Classroom untuk ditonton oleh orang-orang yang ingin memahami pendidikan, maka saya akan menyarankan Minna Mukashi wa Kodomo Datta untuk ditonton oleh orang-orang yang ingin memahami dunia anak-anak. Siapa tahu udah banyak yang lupa rasanya jadi anak-anak :p Well, 4 bintang deh 🙂

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

“Do you know what tomorrow is? Tomorrow is my birthday.”

Iwai Shunji adalah sutradara Jepang pertama yang saya apresiasi. Maksudnya, sebelum menonton film-filmnya Iwai Shunji, saya termasuk tipe orang yang suka nonton film (dalam hal ini, film Jepang) tanpa peduli siapa sutradaranya. Tapi setelah menonton Hana and Alice dan All About Lily Chou-Chou (salah dua film yang disutradarai Iwai Shunji dan merupakan film-film favorit saya sepanjang masa), saya merasa perlu untuk mencari dan menonton karya-karyanya yang lain. Dan setelah itu, saya jadi mulai memperhatikan sutradara-sutradara film Jepang lainnya (tapi Iwai Shunji tetap akan mendapat tempat pertama di hati saya :)).

Saya sudah menonton hampir semua film yang disutradarai Iwai Shunji. Tapi menonton Ritual (judul asli: Shiki-Jitsu) adalah pengalaman pertama saya dalam melihatnya berakting. Ritual sendiri adalah sebuah film yang disutradarai oleh Anno Hideaki (yang terkenal sebagai sutradara anime legendaris Neon Genesis Evangelion). Di film ini, Iwai berperan sebagai seorang pria yang baru saja kembali ke kampung halamannya. Di hari pertama di kampung halamannya, ia melihat seorang perempuan aneh (diperankan Fujitani Ayako) sedang tiduran di rel kereta api sambil memegang payung berwarna merah. Beberapa saat kemudian, ia bertemu lagi dengan perempuan itu. Perempuan itu lalu berkata bahwa yang ia lakukan di rel kereta api tadi adalah sebuah ritual. Selain itu, ia juga memberitahu pria itu bahwa besok adalah hari ulang tahunnya.

Keesokkan harinya, pria itu datang lagi menemui si perempuan aneh yang masih melakukan ritualnya di rel kereta api. Pria tersebut datang dengan membawa kado ulang tahun untuk perempuan itu. Tapi perempuan itu menolaknya sambil berkata “ulang tahunku besok”. Besok dan besoknya lagi, pria itu kembali menemui perempuan itu. Dan perempuan itu tetap meracau bahwa besok adalah hari ulang tahunnya. Di hari keempat, perempuan itu mengajak si pria ke tempat tinggalnya. Tempat tinggal perempuan itu adalah sebuah bangunan beberapa lantai yang hanya diisi oleh “barang-barang yang disukai” perempuan itu. Pria tersebut juga akhirnya mengetahui bahwa perempuan itu masih punya beberapa ritual lainnya. Salah satunya adalah ritual “berdiri di tepian atap rumahnya”. Jika ia bisa berdiri tanpa berusaha melompat, maka artinya dia baik-baik saja. Di hari ketujuh, pria itu memutuskan untuk tinggal bersama dengan perempuan itu. Lalu diketahui bahwa pria tersebut ternyata berprofesi sebagai sutradara dan sejak saat itu ia berusaha memfilmkan kegiatan sehari-hari si perempuan.

Saya sudah menyukai film ini sejak adegan pertama film ini dimulai. Yeah, adegan pertama di film ini, yaitu ketika Iwai Shunji memandangi Fujitani Ayako (yang balas memandangnya sambil tersenyum) di rel kereta api itu memang sangat menarik perhatian dan membuat saya langsung berpikir “wah filmnya pasti aneh nih” dan “wah, kayaknya saya bakal suka banget film ini” (fyi, sebelum menonton film ini saya sama sekali tidak tahu informasi apapun tentang film ini kecuali Iwai Shunji bermain di dalamnya dan Anno Hideaki adalah sutradaranya). Dan setelah adegan itu, semakin lama filmnya menjadi semakin menarik. Menonton film ini mungkin akan membuat kita merasakan sesuatu yang sama dengan yang dirasakan karakter yang diperankan Iwai (yang tidak diketahui namanya dan hanya dipanggil dengan sebutan “Kantoku”/”Sutradara”). Yeah, seperti pada Kantoku, kita akan dibuat untuk terus tertarik dan penasaran ingin mengetahui lebih jauh tentang perempuan itu (yang juga sama sekal tidak diketahui namanya). Si perempuan memang punya kepribadian yang sangat unik dan menarik. Ia selalu berkata bahwa besok adalah hari ulang tahunnya. Dia juga selalu ceria dan selalu tersenyum. Tapi kita tahu bahwa sebenarnya ia hanyalah perempuan kesepian yang mencoba menciptakan dunianya sendiri untuk mengusir kesendiriannya. Ia juga hanyalah perempuan biasa yang butuh orang lain untuk selalu berada di sampingnya (dalam hal ini si Kantoku). Dapat ditebak bahwa ia punya masa lalu yang menyakitkan (yang tampaknya ada hubungannya dengan keluarganya) dan berusaha lari dari kenyataan yang menyakitkan tersebut. Sementara itu, Kantoku adalah kebalikan dari si perempuan. Seperti yang telah diketahui, ia adalah seorang sutradara yang ingin membuat film live action (sepertinya aslinya dia adalah sutradara anime, sama seperti Anno-sensei). Itu berarti dia dekat dengan dunia-dunia yang bersifat fiksi, dan menjadi lelah karena hal itu. Usahanya memfilmkan si perempuan adalah usahanya untuk lari dari dunia fiksi dan kembali ke kenyataan, meskipun hal tersebut seperti kontradiksi karena si perempuan sendiri berusaha lari dari dunia nyata.

Selain hal di atas, yang saya suka lagi dari film ini adalah sinematografinya yang sangat indah dan memberi kesan puitis. Film ini memang punya gambar-gambar yang indah, dan yang paling saya suka adalah keindahan tersebut ditempatkan pada keanehan. Yang paling saya suka adalah bangunan tempat tinggal si perempuan. Tempat tinggalnya itu terlalu aneh untuk disebut sebagai rumah. Isi dari tempat tinggal tersebut pun terlihat sangat ganjil. Namun, sutradaranya berhasil menampilkan keganjilan pada tempat tersebut menjadi sangat indah (terutama pada bagian basement yang gelap dan ‘banjir’, tapi terlihat sangat artistik dengan penempatan payung-payung warna merahnya). Film ini juga punya sentuhan dokumenter, seperti digambarkan pada usaha memfilmkan kegiatan sehari-hari si perempuan. Dan karena Anno Hideaki juga merupakan sutradara anime, di film ini juga disisipkan beberapa sentuhan animasi yang turut membuat film ini menjadi semakin unik. Di luar sinematografinya, saya juga sangat menyukai dialog-dialog dan interaksi antara Kantoku dan si perempuan. Begitu juga dengan narasinya yang dibawakan dengan sangat baik oleh Matsuo Suzuki dan Hayashibara Megumi.

Dari segi akting, Iwai Shunji tampaknya tidak mengalami kesulitan karena perannya tidak jauh-jauh dari profesinya sendiri dan juga tidak memiliki kompleksitas yang rumit. Bintang utama dari film ini tentu saja adalah Fujitani Ayako, yang aktingnya menjadi kejutan terbesar di film ini dan membuat saya terus tertarik untuk mengikuti filmnya. Saya cuma pernah melihat dia sebagai pemeran pendukung di Atami no Sousakan dan sebagai pemeran utama di salah satu segmen di film Tokyo!, sehingga aktingnya di sini membuat saya terkejut karena dia bisa berakting sebegitu bagusnya (dan kejutan yang lain: dia adalah anaknya Steven Seagal!). Tapi kejutan yang paling besar adalah film ini ternyata merupakan film yang diangkat dari novel yang ditulisnya sendiri. Buku dengan judul Touhimu tersebut bergenre fiksi, tapi di beberapa sumber buku ini juga disebut-sebut sebagai semi-autobiografi dari Fujitani Ayako berdasarkan pengalaman akan keterasingannya ketika tinggal di Los Angeles. Hal tersebut membuat saya bertanya-tanya apakah aktingnya di Ritual memang benar-benar ‘akting’ 😀

Well, secara keseluruhan saya sangat menyukai film ini. Satu-satunya yang menjadi poin minus film ini menurut saya cuma endingnya yang digambarkan terlalu jelas. Ya, di sebagian pertama filmnya kita bisa melihat bahwa permasalahan yang dialami si perempuan hanya diperlihatkan secara samar dan melalui beberapa penyimbolan. Di bagian akhir, permasalahan tersebut langsung dijelaskan secara sejelas-jelasnya, yang membuat penonton tidak perlu mereka-reka lagi mengenai apa yang terjadi sebenarnya pada si perempuan itu. Namun, mungkin ending seperti itu adalah ending yang paling cocok untuk film ini.Yosh, menurut saya film ini cocok ditonton oleh penyuka film yang “nyikologis”, penyuka film-film yang artistik, dan penyuka film yang puitis. Film ini juga cocok untuk ditonton penggemar Iwai Shunji yang mungkin penasaran ingin melihat seperti apa ketika dia berakting. 4 bintang 😀

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Blog ini tampaknya semakin lama semakin penuh dengan review Jejepangan ya. Maka dari itu, untuk menjaga agar blog ini tetap kembali ke akarnya (akar random maksudnya), kali ini saya akan mereview sebuah film yang bukan berasal dari negeri sakura itu. Film yang akan saya review kali ini adalah sebuah film asal Prancis dengan judul “Tomboy”,  yang disutradarai oleh Céline Sciamma.

Tomboy bercerita tentang seorang anak kecil berusia 10 tahun yang bernama Laure (Zoé Héran). Jika kita menonton film ini tanpa melihat judulnya terlebih dahulu, kita mungkin akan mengira Laure adalah seorang anak laki-laki. Rambutnya pendek, dan pakaian yang biasa dikenakannya adalah pakaian-pakaian yang biasa dipakai anak laki-laki. Tapi tentu saja, melalui judulnya sudah pasti kita akan bisa menebak bahwa dia hanyalah anak perempuan yang punya sifat tomboi. Laure sendiri diceritakan sebagai anak yang baru saja pindah rumah. Ia memiliki keluarga yang normal: ibu (yang sedang hamil), ayah, dan adik perempuan yang bernama Jeanne (yang tampaknya merupakan kebalikan dari Laure karena punya penampilan yang “cewek banget”). Sebagai anak kecil, Laure menjalani hidup yang normal dan tanpa kesulitan yang berarti.

Sebagai seorang “anak baru” di lingkungan barunya, Laure mulai keluar dari rumahnya untuk mencari teman bermain. Orang yang pertama ia temui adalah seorang anak perempuan bernama Lisa (Jeanne Disson). Lisa mengajaknya berkenalan, dan Laure memperkenalkannya dirinya sendiri dengan nama “Mickael”. Setelah itu, Lisa mulai memperkenalkan Laure/Mickael kepada anak-anak yang lain (yang kebanyakan anak laki-laki). Dari nama serta penampilannya, tentu saja anak-anak yang lain memperlakukan Laure sebagai laki-laki. Setelah hari itu, Laure mulai sering bermain dengan anak-anak itu. Dan Laure sendiri tampaknya merasa dirinya tidak cukup meyakinkan sebagai anak laki-laki. Ia mulai melakukan berbagai cara agar dirinya semakin mirip anak laki-laki, mulai dari membuka baju ketika sedang bermain bola sampai membuat penis buatan dari clay ketika mau berenang bersama teman-temannya. “Kelaki-lakian” Laure tampaknya memang sangat meyakinkan, sampai-sampai Lisa pun jatuh cinta padanya. Lalu, apa yang akan terjadi pada Laure selanjutnya? Apakah suatu saat identitas aslinya sebagai anak perempuan akan ketahuan oleh teman-temannya yang lain? Apakah suatu saat orang tua Laure akan mengetahui bahwa selama ini anak perempuan mereka berpura-pura jadi laki-laki di hadapan teman-temannya?

Anak kecil dan krisis identitas, kedua hal tersebut merupakan dua hal utama yang menjadi inti cerita film ini. Setiap orang pasti pernah merasakan sesuatu yang dinamakan krisis identitas, dan hal tersebut bisa saja terjadi ketika mereka masih kecil. Krisis identitas yang dialami Laure adalah krisis identitas yang berkaitan dengan gendernya. Ia adalah perempuan, tapi ia terlihat lebih nyaman berpakaian dan berlaku seperti anak laki-laki. Seperti cara pemikiran anak kecil yang sederhana, film ini juga mengalir dengan sederhana. Dan yang saya suka adalah, sutradaranya tidak berusaha membuat filmnya menjadi kelihatan muluk-muluk. Permasalahan yang dialami Laure tidak dibuat sebagai permasalahan yang sangat berat, tapi permasalah tersebut juga tidak lantas dibuat sebagai permasalahan enteng. Hal itu membuat film ini terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari, karena permasalahan yang dialami Laure adalah permasalahan yang sangat mungkin dialami oleh anak kecil manapun.

Anak kecil dan krisis identitas. Jika ada satu kata yang bisa menggambarkan salah satu sifat anak kecil, kata itu pastilah “labil”. Tidak seperti orang dewasa, isi pikiran anak kecil masih sangatlah sederhana. Hal itu membuat seorang anak menjadi senang mencoba hal baru yang ia sendiri tidak mengerti. Hal itu menumbuhkan sifat labil tersebut, di mana seorang anak masih memiliki kesulitan untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk bagi mereka. Oleh karena itu, krisis identitas yang dialami anak kecil sering kali bersifat sementara dan tergantung dari cepat atau tidaknya penanganan pihak lain (orang tua) terhadap krisis tersebut. Jika melihat Laure, kita mungkin akan dibuat bertanya-tanya, apakah dia memang sungguh-sungguh ingin jadi laki-laki? Apakah ia memang memiliki perasaan (seksual) terhadap Lisa? Atau apakah segala hal yang ia lakukan dilakukan cuma supaya ia tidak ditolak dari pergaulan barunya? Seperti yang saya bilang sebelumnya, sutradara film ini tampaknya tidak berusaha membawa permasalahan dalam film ini ke tingkat yang seserius itu (dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, lebih baik kembali lagi pada judulnya, Tomboy :D). Film ini hanya menunjukkan krisis identitas gender dari kacamata Laure, anak kecil biasa yang kepribadiannya belum terbentuk sepenuhnya. Ketomboian yang dimiliki Laure masih bisa dijelaskan dengan akal sehat. Dapat dilihat bahwa Laure memiliki insecurity sebagai perempuan. Apalagi di film ini juga diceritakan bahwa ia memiliki adik perempuan yang pernah dibully, dan sifat dasar seorang kakak adalah melindungi adiknya. Namun, Laure tampaknya menjadi lebih percaya diri jika ia bisa melindungi adiknya dalam wujud laki-laki. Dan karena kepribadian Laure belum terbentuk sepenuhnya, tidak butuh penyelesaian luar biasa dalam mengatasi krisis yang dialaminya. Namun, hal tersebut tentunya akan menjadi suatu pembelajaran bagi pendewasaan diri Laure.

Selain hal-hal di atas, yang paling saya suka di sini adalah akting dari para pemainnya. Salut untuk Zoé Héran yang sangat meyakinkan sebagai anak perempuan yang tomboi di sini (sampai-sampai ia menjadi terlihat sangat aneh ketika memakai pakaian perempuan :D).  Jangan dilupakan Malonn Lévana yang begitu adorable sebagai Jeanne, adik perempuan Laure yang begitu lucu dan menggemaskan. Pemeran anak-anak kecil lainnya pun (seperti yang jadi Lisa) turut bermain dengan baik di sini. Dan pemeran orang tua Laure pun sangat pas aktingnya di sini. Mereka (terutama sang ibu) sukses memerankan karakter orang tua yang membebaskan anaknya untuk melakukan apapun, tapi tetap punya sikap dan ketegasan ketika anaknya mengalami masalah. Overall, saya sangat menyukai film ini. Film ini menurut saya berhasil menggambarkan krisis identitas yang dialami anak kecil dengan manis dan sederhana, sesederhana pikiran anak kecil. 4 bintang deh 🙂

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Jika ditanya siapa aktris Jepang yang paling saya suka saat ini, saya pasti akan menyebut nama Aoi Yu. Ya, saya udah suka sama aktris cantik satu itu sejak nonton Hana and Alice, yang merupakan filmnya yang pertama saya tonton. Setelah film itu, cukup banyak film yang dibintangi Aoi Yu lainnya yang sudah saya tonton, seperti All About Lily Chou-chou, Honey and Clover, Turtles Swim Faster than Expected, dan banyak lagi. Dan saya selalu menyukai aktingnya dan menobatkan dia sebagai salah satu aktris muda Jepang paling berbakat saat ini. Nah, kali ini saya akan mereview salah satu dorama yang dibintanginya yang berjudul Camouflage. Dorama ini sendiri menurut saya adalah salah satu dorama yang membuktikan kepiawaiannya dalam berakting, karena di dorama ini Aoi Yu memerankan empat karakter yang berbeda.

Camouflage adalah sebuah dorama eksperimental yang mengangkat “kebohongan” sebagai temanya. Dorama ini terbagi menjadi empat bagian yang disutradarai oleh empat sutradara berbeda, di mana masing-masing bagiannya memiliki tiga episode. Bagian pertama (episode 1-3, dengan judul “Life is Like a Lie”/“Jinseitte Uso Mitai“) disutradarai oleh seorang CM Planner bernama Takazaki Takuma. Pada bagian pertama ini, Aoi Yu memerankan seorang perempuan bernama Chika yang baru saja kehilangan pacarnya, Takano (Kase Ryo), yang baru saja meninggal karena kecelakaan mobil. Chika sendiri sama sekali tidak merasa bersedih atas kematian pacarnya itu, karena menurutnya kematian tersebut disebabkan oleh hal yang sangat konyol (mengecek handphone ketika menyetir). Sementara itu, bagian kedua (episode 4-6, dengan judul “Rose Colored Days“/”Barairo no Hibi“) disutradarai oleh Takasu Mitsuyoshi. Pada bagian ini, Aoi Yu memerankan Makoto, seorang perempuan yang punya hobi berlari. Setiap ia sedang berlari, ia selalu membayangkan dirinya menjadi orang lain. Suatu hari, ia bisa berlari sambil membayangkan dirinya sebagai idol yang terlambat audisi. Di hari yang lain, ia juga bisa berlari sambil membayangkan dirinya adalah seorang detektif yang sedang berlari memburu penjahat. Makoto sendiri memiliki seorang teman sejak kecil, yaitu Wataru (Arai Hirofumi), cowok yang selalu mengamatinya dan sama-sama punya sifat delusional.

Bagian ketiga (episode 7-9) disutradarai oleh Yamashita Nobuhiro (sutradara Linda Linda Linda). Bagian berjudul “Three Akabane Sisters“/”Akabane San Shimai ini bercerita tentang kehidupan tiga orang saudara perempuan. Aoi Yu memerankan Umeko yang merupakan anak ketiga alias bungsu dari tiga bersaudara itu. Pada bagian ketiga ini, semua episodenya bersetting di satu buah ruangan. Bagian ini menunjukkan interaksi antara ketiga saudara ini, yang kadang-kadang selalu berakhir dengan pertengkaran dan perdebatan. Selanjutnya,  bagian terakhir (episode 10-12, dengan judul “Tomin Suzuko -Hyakumanen to Nigamushi Onna Josho-“) disutradarai oleh Tanada Yuki, yang merupakan sutradara dari film One Million Yen and the Nigamushi Woman yang juga dibintangi oleh Aoi Yu. Bagian ini sendiri masih ada hubungannya dengan film itu, di mana Aoi Yu memerankan karakter Suzuko yang merupakan tokoh utama film tersebut (lebih tepatnya, bagian ini bercerita tentang beberapa kejadian yang terjadi sebelum kejadian yang ada di filmnya). Seperti karakter di filmnya, tokoh Suzuko di bagian ini juga digambarkan sebagai seorang perempuan yang “not so good at dealing with people”. Di luar hal seputar kepribadian tokoh Suzuko, bagian ini sendiri menurut saya agak random dan tidak terlihat benang merahnya antara episode yang satu dengan yang lainnya jika dilihat dari segi ceritanya.

Yak, di atas itu hanyalah garis besar dari dorama dengan jumlah 12 episode ini. Meskipun hanya terdiri dari empat bagian, masing-masing episode dari setiap bagiannya menurut saya punya cerita dan ciri khas tersendiri yang membedakannya dari episode yang lainnya, dan rasanya akan sangat panjang jika keduabelas episode itu diceritakan satu persatu di sini 😀 Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, dorama ini mengangkat kebohongan sebagai tema utamanya. Kebohongan, satu kata itu memang bisa dikembangkan menjadi berbagai macam cerita. Dan “bohong” di sini tidak berarti kebohongan yang ditunjukkan secara langsung alias terang-terangan saja ya. Ada juga kebohongan yang ditunjukkan secara tidak disadari. Bohong di sini bukan hanya berbohong pada orang lain saja, tapi juga berbohong pada diri sendiri. Misalnya seperti yang ditunjukkan pada episode pertama, di mana Aoi Yu berperan sebagai Chika yang tidak merasa bersedih atas kematian pacarnya. Apakah itu hanya kebohongan belaka? Bohong bisa juga ditunjukkan melalui sifat delusional, seperti yang ditunjukkan pada bagian kedua, di mana Aoi Yu berperan sebagai Makoto yang punya sifat delusional dan hobi membayangkan sesuatu yang bukan dirinya ketika sedang berlari. Selain itu, dorama ini juga menunjukkan bahwa manusia kadang-kadang merasa lebih nyaman hidup dalam kebohongan. Misalnya pada episode dua, di mana karakter Takano (Kase Ryo) mendatangi Chika dalam mimpinya. Hal itu membuat Chika menjadi rajin mengonsumsi obat tidur, hanya karena ia ingin terus bermimpi bertemu Takano. Hal itu menunjukkan bahwa manusia memang sering kali lebih merasa bahagia akan hal yang sifatnya tidak nyata. Selain hal-hal itu, masih banyak lagi hal-hal seputar kebohongan yang ditunjukkan melalui episode-episode lainnya, yang rasanya akan panjang jika harus dibahas satu-satu 😀 (gak dibahas satu-satu juga review lu selalu kepanjangan pris)

Ini adalah dorama eksperimental. Eksperimental di sini tidak hanya eksperimental dalam mengolah tema kebohongan saja, tapi juga eksperimental dari gaya penceritaannya. Di setiap episodenya, kita akan menemui sutradara dari masing-masing bagiannya yang akan menjelaskan konsep dari setiap episode yang disutradarainya. Masing-masing episode dari dorama ini memang memiliki konsep dan gaya yang berbeda-beda. Ada yang memiliki konsep theatrical (episode 3 dan 11), konsep ala komedi situasi (episode 4), konsep ala opera sabun (episode 5), dan berbagai macam konsep dan gaya lainnya. Ada juga satu episode di mana Aoi Yu tidak berlaku sebagai tokoh utama, melainkan menjadi narator yang menceritakan tokoh lainnya (episode 11). Bahkan ada juga episode yang menunjukkan interaksi Aoi Yu dengan beberapa tokoh yang sama sekali tidak ditunjukkan wajahnya (episode 12). Selain empat cerita, empat karakter, dan empat sutradara, di dorama ini juga kita akan diperkenalkan pada empat orang fotografer. Ya, di akhir cerita di setiap episodenya, seorang fotografer akan menunjukkan foto hasil karyanya (dengan model Aoi Yu tentunya) yang dipotret berdasarkan interpretasi fotografer tersebut terhadap cerita yang bergulir sebelumnya.

Sekarang, mari beralih pada bintang utama dorama ini, yaitu Aoi Yu. Ya, dorama ini menurut saya merupakan salah satu bukti yang menunjukkan bahwa Aoi Yu adalah salah satu aktris Jepang terbaik (in her generation) saat ini. Ia mampu memerankan empat macam karakter dalam dorama ini tanpa cacat, mulai dari peran yang kalem, kelam, dingin, polos, sampai kocak. Tidak hanya Aoi Yu, aktor-aktris lain yang turut berperan dalam dorama ini juga berperan dengan sangat baik di sini, seperti Kase Ryo (<3), Nishijima Hidetoshi (<3 juga), Nukumizu Youichi, Arai Hirofumi, Hamada Mari, dan masih ada beberapa aktor dan aktris lainnya. Fokus utama dorama ini memanglah Aoi Yu, tapi peran-peran lainnya pun tidak kalah penting dan turut membuat dorama ini menjadi semakin menarik.

Secara keseluruhan, saya sangat menyukai dorama ini. Jika dilihat dari semua bagiannya, bagian yang paling saya suka adalah bagian pertama (Life is Like a Lie) yang menurut saya merupakan bagian paling ‘dalem’ dan punya cerita paling kuat. Namun, meskipun begitu bagian-bagian lainnya pun menurut saya tidak kalah menarik untuk ditonton kok. Recommended! Terutama untuk kamu yang bosan dengan dorama bergaya konvensional atau tertarik dengan dorama eksperimental. Dan untuk penggemar Aoi Yu, jangan sampai melewatkan dorama ini. 4 bintang!

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »