Setiap orang pasti memiliki impian untuk menjadi orang yang istimewa, tidak biasa, dan berbeda dari orang lainnya. Tapi tidak dengan cowok berusia 14 tahun bernama Sumida Yuichi (Sometani Shota). Satu-satunya impian Sumida adalah menjadi orang biasa dan menjalani hidup yang biasa. Bukan hidup yang bahagia, tapi juga bukan hidup yang tidak bahagia. I want to live quietly like a mole, itulah mimpi Sumida. Tapi takdir berkata lain. Hidupnya tidak akan pernah bisa menjadi biasa. Ia tinggal berdua dengan ibunya. Mereka hidup dari uang hasil usaha penyewaan boat. Sang ayah (Mitsuishi Ken) yang sudah lama berpisah dengan mereka sering datang untuk mengancam dan mengambil uang Sumida. Dan suatu hari, ibunya pun diam-diam pergi meninggalkannya. Bagaimana bisa ia menjalani hidup yang biasa dengan latar belakang seperti itu?
Lalu ada Chazawa Keiko (Nikaido Fumi). Anak orang kaya ini sangat tergila-gila pada Sumida. Ia juga bisa dikatakan sebagai stalkernya Sumida, selalu memperhatikan Sumida dan bahkan mengkoleksi kata-kata yang pernah diucapkan cowok itu. Ia juga punya impian sederhana, yaitu hidup dengan laki-laki yang ia cintai, saling melindungi satu sama lain, dan kemudian meninggal dengan senyuman. Tapi Keiko juga punya latar belakang keluarga yang suram. Apakah suatu saat impiannya akan terkabul?
Suatu hari, keinginan Sumida untuk hidup dengan biasa tampaknya tidak akan pernah terwujud lagi. Ia melakukan suatu tindakan kriminal yang berhubungan dengan ayahnya. Sejak saat itu, Sumida bertekad untuk melakukan suatu kebaikan terhadap masyarakat, yaitu dengan ‘membasmi’ orang-orang yang selalu menimbulkan kesulitan bagi orang lain. Apa yang akan terjadi selanjutnya pada Sumida? Mampukah ia melakukan hal tersebut?
Film berjudul Himizu yang disutradarai Sono Sion (Love Exposure, Suicide Club) ini merupakan film yang diangkat dari manga berjudul sama karya Furuya Minoru. Film ini sendiri cukup banyak memiliki perbedaan dengan manganya, salah satunya adalah latar waktu di filmnya yang disesuaikan dengan keadaan saat ini, tepatnya pada peristiwa setelah bencana tsunami di Jepang tahun 2011 lalu. Oleh karena itu, film ini juga bisa dilihat dari sudut pandang bencana tersebut, yaitu bagaimana dampak tsunami terhadap kondisi sosial dan psikologis masyarakat Jepang saat itu (selain tokoh Sumida, kita juga akan diperkenalkan pada karakter orang-orang yang menumpang tinggal di tanah milik Sumida, orang-orang yang kehilangan rumahnya akibat tsunami).
Mengenai film ini sendiri, saya sendiri rada susah untuk menggambarkan apa kelebihan atau kekurangan dari film ini, apakah ini film yang bagus atau bukan, atau semacamnya. Film ini memang tidak sebagus film-film Sono Sion yang sebelumnya, dan juga mungkin akan mengecewakan bagi sebagian orang. Tapi yang jelas, film ini berhasil membuat saya merasa terbawa ke dalam ceritanya. Film ini sendiri dapat dimasukkan ke kategori “film depressing”. Tapi depressing di sini adalah depressing yang enak diikuti, bukan tipe depressing yang bikin kamu merasa gak kuat dan gak mau lanjut nonton lagi. Ini adalah jenis film depressing yang bisa saya tonton berulang kali. Film ini juga berhasil membuat saya tertarik dan peduli terhadap tokoh-tokoh di dalamnya. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh akting yang cemerlang dari kedua pemeran utamanya, yaitu Sometani Shota dan Nikaido Fumi (yang sama-sama mendapat penghargaan “Marcello Mastroianni Award” di Venice Film Festival berkat akting mereka di film ini). Sulit rasanya membayangkan ada aktor/aktris muda yang bisa memerankan tokoh Sumida & Keiko sebaik mereka. Pemeran-pemeran lainnya yang kebanyakan sudah pernah bermain di film-film garapan Sono Sion pun turut menampilkan akting yang bagus dan memperkuat film ini.
Meskipun diangkat dari manga, film ini sendiri tetap tidak kehilangan ciri khas Sono Sion. Penggunaan narasi (meskipun sedikit), penggunaan puisi, penggunaan musik klasik, dan kekerasan (tapi kadarnya masih rendah kok), semuanya ada di sini. Film ini juga memiliki kemiripan dengan beberapa film Sono Sion sebelumnya yang selalu bercerita tentang ‘perjalanan’ psikologis manusia yang dipengaruhi oleh suatu hal (bisa tragedi, ataupun hal-hal lainnya). Jadi, untuk penggemar Sono Sion, film ini tentunya adalah film yang tidak boleh dilewatkan.
Well, secara keseluruhan saya sangat menyukai film ini. Ini adalah film yang depressing. Tapi film ini juga menunjukkan bahwa meskipun dunia seolah bertindak tidak adil terhadap kita dan kejahatan akan selalu ada, kita tetap boleh memiliki harapan. Yeah, film ini memiliki pesan yang sangat simpel dan digambarkan dengan sangat jelas (tapi tidak sampai merusak esensi filmnya), yaitu “jangan menyerah, dan bermimpilah”. Oke, 4 bintang deh untuk film ini 🙂
Rating : 1 2 3 4 5