Feeds:
Posts
Comments

Archive for July, 2010

When someone does you a big favor, don’t pay it back. Pay it forward!

Mengubah dunia tidak selalu harus dilakukan dengan cara-cara yang besar atau luar biasa. Hal-hal kecil dan sederhana pun dapat membuat dunia berubah menjadi lebih baik. Seperti yang dilakukan oleh anak berusia 11 tahun bernama Trevor McKinney (Haley Joel Osment). Berbekal tugas dari gurunya yang berbunyi “Think of an idea to change our world – and put it into action”, ia membuat sebuah program bernama “Pay It Forward”, di mana tata cara program tersebut sangatlah sederhana: kita harus melakukan kebaikan kepada tiga orang (di mana kebaikan tersebut adalah kebaikan besar atau yang memang tidak bisa dilakukan oleh orang yang ditolong), dan tiga orang tersebut harus meneruskan kebaikannya kepada tiga orang lainnya, begitulah seterusnya, sehingga jumlah kebaikan tersebut bertambah berkali-kali lipat. Kebaikan pertama yang dilakukannya adalah kepada seorang pria tunawisma yang dilihatnya dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Trevor memberikan pria tersebut uang tabungannya dan juga mengizinkannya menginap di rumahnya selama satu malam. Kebaikan kedua, Trevor mencoba menjodohkan ibunya dengan Mr. Simonet (Kevin Spacey), gurunya (yang memberikan tugas di atas). Diceritakan bahwa Trevor tinggal berdua saja dengan ibunya yang pemabuk. Ayahnya meninggalkan mereka dan tidak diketahui ada di mana. Karena itulah Trevor ingin menolong ibunya yang terlihat kesepian dengan cara menjodohkannya dengan Mr. Simonet. Berkat Trevor, kedua orang ini jadi dekat dan Trevor pun turut bahagia karena ia menyukai Mr. Simonet. Namun, meskipun sederhana, berbuat baik itu bukanlah hal yang mudah. Hubungan Arlene (ibunya Trevor, diperankan oleh Helen Hunt) dan Mr. Simonet tidak bisa dibilang lancar, apalagi suatu hari ayah kandung Trevor kembali ke rumah mereka. Selain itu, Trevor yang berniat untuk menolong teman sekolahnya yang suka diganggu oleh anak-anak nakal nyatanya tidak melakukan apa-apa ketika melihat temannya itu diganggu. Ia pun merasa program yang dibuatnya tersebut gagal. Padahal, tanpa sepengetahuan Trevor, program tersebut sebenarnya menyebar ke banyak orang (bahkan orang-orang yang tidak dikenalnya), dan sampai ke seorang wartawan yang kemudian menyelidiki dan menelusuri jejak orang yang pertama membuat program tersebut untuk dijadikan bahan berita, yang tidak lain adalah Trevor.

Film yang bagus dan sangat menginspirasi. Saya suka banget sama pesan yang disampaikan oleh film ini, bahwa mengubah dunia bisa dilakukan dengan cara sederhana. Dan saya pun suka banget sama program yang dibuat Trevor. Biasanya kan, jika ada orang yang berbuat baik kepada seseorang, orang tersebut kemudian membalas kebaikannya dengan berbuat baik kepada orang yang menolongnya tersebut, dan hal ini membuat lingkaran kebaikan itu menjadi sempit dan berada di situ-situ saja (tapi ini bukan sesuatu yang salah kok :)). Sedangkan program Pay It Forward itu membuat lingkaran kebaikan tersebut menjadi luas dan menyebar kemana-mana, sehingga bukan tidak mungkin dunia berubah menjadi lebih baik karena hal tersebut 🙂

Ketiga aktor utama film ini bermain dengan baik. Haley Joel Osment, mantan aktor cilik (yang di sini juga masih cilik) yang terkenal lewat perannya di The Sixth Sense menampilkan akting yang lumayan. Begitu juga dengan Kevin Spacey dan Helen Hunt. Semuanya memerankan perannya dengan baik. Kevin Spacey berhasil memerankan Mr. Simonet, guru ilmu sosial yang super serius dan memiliki hidup yang super teratur. Awalnya saya gak suka karakter ini, abisnya meskipun dia menyuruh murid-muridnya untuk mengubah dunia, dia sendiri keliatan gak sungguh-sungguh dalam hal itu dan melakukan itu hanya karena supaya dianggap sebagai guru yang baik. Tapi seiring berjalannya waktu, berkat kedekatannya dengan Trevor dan ibunya, karakter ini mulai mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik. Begitu juga dengan Arlene, ibu dari Trevor yang awalnya merupakan seorang pemabuk, tapi berkat Trevor dia berhasil menghilangkan kebiasaannya tersebut. Well intinya, semua karakter di film ini (termasuk Trevor) hampir semuanya berkembang menjadi lebih baik berkat program Pay It Forward tersebut.

Satu-satunya hal yang tidak saya suka dari film ini adalah endingnya. Kok endingnya gitu siiiiiiiih? Terus terang endingnya merusak mood yang terbangun sepanjang menonton film ini. Well, tapi ini mungkin saya aja, mungkin orang lain akan berbeda pendapat mengenai endingnya. Di luar hal tersebut, film ini sangat saya rekomendasikan untuk ditonton  karena memiliki pesan yang sangat bagus. 3, 5 bintang (tadinya mau dikasih 4 tapi karena saya benci endingnya jadi dikurangin 0,5 :p)

Catatan: Penyanyi gaek Jon Bon Jovi turut bermain dalam film ini sebagai ayah kandung Trevor.

Rating : 1 2 3 3,5 4 5

Read Full Post »

Diangkat dari kisah nyata, film yang disutradarai oleh Clint Eastwood ini bercerita tentang seorang single parent bernama Christine Collins (Angelina Jolie)  yang tinggal berdua hanya dengan anak lelakinya yang berusia 9 tahun yang bernama Walter. Suatu hari, sepulangnya dari kerja, Christine mendapati anaknya tidak ada di rumah. Christine lalu mencarinya kemana-mana tapi tetap tidak ketemu. Akhirnya ia meminta bantuan polisi untuk menemukan putra semata wayangnya tersebut. Namun sayangnya segala macam pencarian tersebut tidak membuahkan hasil. Lalu, setelah lima bulan sejak Walter menghilang, polisi mengabari Christine bahwa mereka menemukan Walter. Dengan perasaan bahagia, Christine kemudian dipertemukan dengan anak yang polisi temukan tersebut. Kebahagiaan Christine langsung padam begitu melihat anak tersebut, karena anak yang polisi temukan tersebut sama sekali bukan anaknya. Christine pun memohon pada polisi agar terus mencari anaknya yang sebenarnya. Namun, polisi tidak mau mendengar Christine. Mereka terus berusaha meyakinkan Christine bahwa anak yang mereka temukan adalah Walter. Tapi Christine tetap bersikeras bahwa anak itu bukan anaknya, sehingga hal tersebut membuat polisi kesal dan menuduh Christine tidak mau merawat anaknya. Dan yang terburuk, Christine yang kemudian berusaha mengumpulkan bukti-bukti untuk menunjukkan bahwa anak tersebut bukan anaknya malah dimasukan secara paksa ke rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa, Christine menemukan pasien-pasien lainnya yang memiliki latar belakang yang sama mengenai alasan mengapa mereka dimasukan ke rumah sakit jiwa, yaitu karena mereka membuat kesal oknum-oknum polisi yang tidak mau kejahatannya tercium. Di luar masalah Christine, di suatu tempat tercium kasus tentang seorang pria yang kabarnya telah membunuh 20 anak kecil. Lalu, apa yang akan terjadi pada Christine selanjutnya? Apakah dia akan dikeluarkan dari rumah sakit jiwa dan berhasil menemukan anaknya yang sebenarnya? Apakah ia berhasil menuntut kebusukan pihak kepolisian yang pada saat itu memang memiliki reputasi buruk? Lalu, apakah kasus pembunuhan tersebut memiliki kaitan dengan hilangnya Walter? Silakan tonton sendiri 🙂

Wow, film ini berhasil mengaduk-aduk emosi saya. Geregetan dan geram adalah dua kata yang menggambarkan perasaan saya ketika menonton film ini. Geregetan, karena saya penasaran banget sama apa yang akan terjadi pada karakter Christine, dan juga penasaran pengen tahu bagaimana nasib Walter yang sebenarnya. Geram, karena melihat tingkah picik para polisi yang tidak ragu menyingkirkan apa saja yang membuat nama mereka tercoreng. Gila, pas nonton ini rasanya saya pengen banget mentungin polisi-polisi di sini, terutama kapten Jones yang tingkah lakunya benar-benar menyebalkan. Film ini sendiri mengungkapkan sebuah realita mengenai pihak kepolisian di daerah itu saat itu (pada tahun 1928 s.d 1930-an) yang sebelum kasus Christine memang sudah memiliki citra buruk karena diduga banyak yang melakukan korupsi. Dan ketika mereka menemukan anak yang ‘mirip Walter’, hal tersebut mereka gunakan sebagai alat untuk membersihkan nama baik mereka dan untuk membuktikan bahwa mereka memiliki kinerja yang baik. Makanya, ketika Christine bersikeras bahwa anak yang mereka temukan bukanlah anaknya, mereka marah besar dan berusaha menutupi kesalahan mereka dengan mengirim Christine ke rumah sakit jiwa. Selain kesal kepada pihak kepolisian di film ini, saya juga geram banget sama pihak rumah sakit jiwa di film ini karena memperlakukan pasien-pasiennya bukan dengan kasih sayang, tapi dengan kekerasan dan paksaan.

Dari segi akting, Angelina Jolie sangat berhasil memerankan karakter seorang ibu yang kehilangan anaknya. Meskipun awalnya saya agak kesel sama karakter ini karena kelihatannya lemah banget di awal-awal, tapi ternyata karakter ini mengalami perkembangan yang sangat baik dari yang tadinya perempuan lemah menjadi sosok kuat yang tidak menyerah memperjuangkan haknya (tapi tanpa menghilangkan sifat aslinya). Tidak heran Jolie mendapat nominasi best actress academy awards 2009 melalui perannya di film ini (tapi mbak Jolie, eke kurang suka sama make upnya nih, ente jadi keliatan tua banget. tapi akyu suka model rambutnya kok, lucu :D). Pemain lainnya pun menampilkan akting yang baik, seperti John Malkovich yang berperan sebagai pendeta yang membantu Christine, juga pemeran kapten Jones yang aktingnya berhasil membuat saya kesel banget sama dia. Selain hal-hal di atas, film ini juga berhasil menggambarkan suasana dan pemandangan pada akhir tahun 1920-an dan awal 1930-an. Semuanya tergambar dengan sangat pas 🙂

Well, film ini sendiri mengajak kita agar tidak menyerah pada harapan kita, karena harapan adalah sesuatu yang dapat menolong diri kita sendiri, seperti harapan Christine untuk menemukan Walter, di mana harapannya tersebut membuatnya menjadi lebih kuat.  Film ini juga mengajak kita agar tidak menyerah untuk memperjuangkan keadilan serta hak kita. 4 bintang 🙂

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Peringatan: Review ini mengandung SPOILER, jadi jika anda tidak menyukai spoiler, silakan cepat-cepat tutup tab blog ini sebelum terlambat 🙂

Tokyo. Apa yang ada di pikiran anda ketika mendengar kata itu? Nama kota? Ibu kota Jepang? Kota terpadat di Jepang? Lalu, bagaimana pandangan anda terhadap kota tersebut? Saya sendiri belum pernah menginjakkan kaki di kota tersebut, tapi berhubung saya punya hobi nonton film / dorama Jepang dan juga baca komik Jepang yang sering menggunakan kota Tokyo sebagai latarnya, saya jadi tidak terlalu asing dengan kota ini dan punya impian untuk suatu hari menginjakkan kaki di kota tersebut (amiiiin). Lalu, bagaimana tanggapanmu jika mendengar tiga orang sutradara dari tiga negara berbeda di luar Jepang menuangkan pemikiran mereka mengenai Tokyo ke dalam tiga buah film pendek? Kalo saya sih, penasaran, hehe :p

Tokyo! adalah sebuah film berbentuk “antologi” yang terdiri dari tiga film pendek yang masing-masing berdurasi sekitar 30-40 menit yang disutradarai oleh tiga sutradara berbeda yang semuanya menggunakan kota Tokyo sebagai latar belakang tempatnya. Film pertama berjudul “Interior Design” yang disutradarai oleh Michel Gondry, sutradara yang pernah membuat saya terpesona melalui salah satu karyanya yang berjudul Eternal Sunshine of the Spotless Mind, sebuah film yang memiliki cerita yang unik sekaligus absurd. Ke-absurd-an juga saya temukan dalam Interior Design. Karena itu, anda tidak perlu mengerutkan kening melihat hal-hal di luar akal sehat yang ada di film ini, cukup nikmati saja!  Interior Design bercerita tentang sepasang kekasih bernama Hiroko (Fujitani Ayako) dan Akira (Kase Ryo) yang pindah ke Tokyo untuk mengadu nasib. Di Tokyo mereka tidak memiliki tempat tinggal, karena itulah mereka menumpang di flat sempit milik Akemi (Ito Ayumi) yang merupakan sahabat mereka. Dalam film ini kita dibawa kepada konflik dalam diri Hiroko yang merasa tidak memiliki kegunaan sama sekali. Ia tidak punya pekerjaan, tidak punya bakat, dan tidak punya ambisi. Berbeda dengan pacarnya yang memiliki tujuan hidup yaitu membuat film. Kehadiran mereka pun mulai jadi beban bagi Akemi, dan Hiroko belum juga berhasil menemukan tempat tinggal yang pas setelah berhari-hari. Kejutan ditampilkan ketika suatu hari *spoiler alert, kalo mau tau blok aja yg diputihin* Hiroko berubah menjadi KURSI secara perlahan-lahan. Manusia lain mungkin akan merasa hal tersebut sebagai musibah, tapi tidak bagi Hiroko. Hiroko yang kemudian ditemukan dan dipungut oleh seorang pria yang tampaknya berprofesi sebagai seniman malah menjadi bahagia karena setelah ia menjadi kursi, ia merasa dirinya memiliki kegunaan bagi orang lain. Melalui segmen ini, kita diperlihatkan bahwa Tokyo adalah tempat yang ideal untuk mengadu nasib sehingga banyak orang dari kota-kota lainnya memilih untuk pindah ke sana (mungkin kalo di sini sama aja dengan Jakarta, di mana banyak orang dari berbagai daerah mengadu nasib di sana). Namun, Tokyo juga adalah kota yang keras, sehingga jika ingin bertahan di sana, kita dituntut untuk punya ‘kegunaan’. Di kota besar, manusia jadi sering dipandang sebagai sekadar ‘alat’. Gak bisa kerja? Gak ada guna? Sana minggir aja! Karena itulah, apa bedanya manusia dengan benda mati (yang memiliki kegunaan)? Tidak heran jika ada manusia yang kemudian lebih senang menjelma menjadi benda mati tapi berguna, dibanding jadi manusia tapi tidak berguna (dalam hal ini, Hiroko), jika manusia hanya dipandang dari segi ‘kegunaan’ saja.

segmen “Interior Design”

segmen “Merde”

Lalu, cerita kedua berjudul “Merde”, disutradarai oleh Leos Carax yang merupakan sutradara asal Prancis. Film ini bercerita tentang laki-laki mengerikan yang tiba-tiba muncul dari saluran bawah tanah dan tingkah lakunya menggemparkan kota Tokyo. Dia berjalan ke sana kemari dan merebut barang-barang dari orang-orang yang ia lewati. Tidak hanya itu, tingkahnya juga menewaskan banyak warga Jepang, yaitu ketika ia melemparkan banyak granat yang ia temukan dari bawah tanah. Laki-laki yang dijuluki “The Creature From the Sewers” ini pun diburu dan akhirnya ditahan. Namun, laki-laki yang dari fisiknya terlihat bahwa dia adalah orang asing ini tidak mau berkata apa-apa ketika diinterogasi dan memiliki bahasa yang tidak dimengerti orang-orang. Lalu, didatangkanlah pengacara asal Prancis yang mengaku dapat mengartikan bahasa laki-laki yang kemudian diketahui bernama Merde (bahasa Prancis dari “shit”) tersebut. Lalu Merde ini kemudian menjalani sebuah pengadilan, di mana motif ia melakukan terror-teror tersebut adalah karena ia membenci orang-orang, terutama orang Jepang yang menurutnya disgusting, dan katanya lagi tentang orang Jepang “their eyes are shaped like woman’s sex”.

segmen “Shaking Tokyo”

Segmen ketiga berjudul Shaking Tokyo” (nah, yang ini favorit saya nih) yang disutradarai oleh sutradara asal Korea bernama Joon-ho Bong. Segmen ini bercerita tentang sebuah fenomena yang memang terjadi di Jepang sana (terutama di kota besar seperti Tokyo), yaitu fenomena Hikkikomori. Hikkikomori sendiri adalah suatu kondisi di mana seseorang mengurung diri dalam rumahnya dan tidak pernah keluar rumah dalam jangka waktu yang lama. Film ini bercerita tentang seorang lelaki (diperankan Kagawa Teruyuki) yang sudah tidak pernah keluar dari rumahnya sejak 10 tahun yang lalu. Ia tinggal sendiri, dan kebutuhan hidupnya terpenuhi dari uang yang dikirim oleh ayahnya. Mau makan pun, ia tinggal pesan delivery sehingga ia tidak perlu repot-repot keluar rumah, seperti kebiasaannya setiap hari Sabtu yaitu memesan pizza. Suatu hari, untuk pertama kalinya ia melakukan kontak mata dengan orang lain setelah 10 tahun, yaitu dengan seorang pengantar pizza perempuan (sebelumnya ia tidak pernah menatap mata para pengantar pesanannya). Kontak pertama yang juga dibarengi dengan terjadinya gempa tersebut cukup berkesan bagi laki-laki tersebut, dan ia ingin bertemu lagi dengan perempuan tersebut (diperankan Aoi Yu yang juga bermain di Hana and Alice). Namun sayangnya, setelah itu perempuan tersebut tidak bekerja sebagai pengantar pizza lagi. Hal tersebut mendorong laki-laki tersebut untuk keluar dari rumahnya, hanya untuk menemui perempuan tersebut. Dan ketika ia berhasil keluar dari rumahnya, ia menemui kenyataan bahwa ternyata semua orang, termasuk perempuan tersebut, telah menjadi hikkikomori seperti dirinya. Hal ini sendiri menurut saya sangat menakutkan. Salah satu yang menyebabkan fenomena hikkikomori salah satunya adalah kecanggihan teknologi (yang di jepang memang canggih) yang membuat segala sesuatu jadi lebih praktis (meskipun tokoh Hikkikomori yang diperankan Kagawa Teruyuki di sini tidak diperlihatkan sebagai maniak elektronik dan ia menjadi hikkikomori karena tidak menyukai orang-orang). Segala hal bisa didapatkan di rumah, bahkan kita tidak perlu kemana-mana untuk mendapatkan hiburan atau kebutuhan seperti makanan. Bentuk komunikasi langsung pun lama-lama hilang dan tergantikan komunikasi tidak langsung (melalui internet). Makanya bukan tidak mungkin jika semua orang Tokyo menjadi hikkikomori, bahkan para pengantar delivery pun ikut-ikutan menjadi hikkikomori dan pekerjaan mereka kemudian diambil alih oleh robot. Sampai-sampai tidak ada alasan lagi yang dapat membuat mereka mau keluar rumah, kecuali gempa. Ya, sesuai judulnya, Shaking Tokyo, tampaknya satu-satunya hal yang bisa membuat seorang hikkikomori mau keluar dari rumahnya hanyalah gempa, seperti yang terjadi pada film ini. Oh ya, melalui Shaking Tokyo, saya juga dibuat kagum karena dalam segmen ini, pusat kota Tokyo yang biasanya padat diperlihatkan jadi sangat sepi dan lengang tanpa seorang pun.

Well, secara keseluruhan film ini bagus banget, meskipun tampaknya tidak semua orang bisa menikmati film bergaya seperti ini. 4,5 bintang deh (4 bintang buat Interior Design & Merde, 5 bintang untuk Shaking Tokyo).

Rating : 1 2 3 4 4,5 5

Read Full Post »

Hana (Suzuki Anne) dan Alice (Aoi Yu) adalah dua orang anak remaja yang sudah bersahabat sejak kecil. Persahabatan mereka sangat erat, seolah-olah tidak dapat dipisahkan. Selain itu, mereka juga sama-sama mengikuti kursus balet di tempat yang sama. Suatu hari, ketika mereka sama-sama bolos sekolah dan berpetualang dengan menggunakan kereta api, dari jarak agak jauh mereka melihat dua orang cowok SMA yang tampangnya lumayan tampan di kereta tersebut. Alice langsung tertarik pada salah satu cowok yang lebih tinggi dan wajahnya mirip bule, dan ia mengatakan pada Hana kalau ia boleh mengambil cowok yang satunya lagi. Dengan tampang ogah-ogahan Hana langsung menolak hal tersebut. Namun siapa yang menyangka, Hana sebenarnya tertarik pada cowok tersebut (yang lebih pendek). Jika Alice kemudian melupakan kejadian tersebut, Hana tidak demikian. Ia kemudian jadi sering memata-matai cowok yang nantinya diketahui bernama Miyamoto Masashi (Tomohiro Kaku) tersebut. Hana dan Alice pun kemudian lulus SMP dan mereka sama-sama masuk ke SMA yang sama. Ternyata cowok yang dimata-matai Hana juga bersekolah di SMA yang sama dengan mereka berdua. Berusaha mendekati Miyamoto, Hana masuk ke ekstrakurikuler “Storytelling” yang hanya beranggotakan dua orang termasuk Miyamoto. Namun, mendekati Miyamoto bukanlah hal yang mudah, karena cowok tersebut bisa dibilang cowok yang anti sosial dan perhatiannya selalu ia habiskan kepada buku. Di kereta dan di mana pun ia berada, ia selalu membaca buku, termasuk ketika ia berjalan pulang ke rumahnya. Karena terlalu fokus membaca buku, ia jadi tidak memperhatikan sekitar dan akhirnya menabrak pintu garasi sebuah rumah. Hal tersebut membuat Miyamoto terjatuh dan hampir tak sadarkan diri. Hana yang sedari tadi mengikuti Miyamoto, langsung menghampiri Miyamoto untuk memastikan keadaannya. Miyamoto malah bertanya “siapa kamu?” pada Hana, karena Miyamoto memang baru berkenalan dengan Hana hari itu sehingga dia tidak begitu mengingat Hana. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan Hana yang mengatakan bahwa dia adalah pacar Miyamoto. Jadi begitulah seterusnya, Miyamoto dibuat percaya bahwa dia menderita amnesia akibat kejadian tersebut, sehingga Hana mendapat kesempatan untuk selalu dekat dengan Miyamoto yang disukainya. Namun, satu buah kebohongan sering kali menghasilkan kebohongan-kebohongan yang lain. Karena suatu kejadian, Alice kemudian dengan terpaksa terlibat dalam kebohongan Hana dan disuruh Hana untuk berpura-pura menjadi mantan pacar Miyamoto. Karena Miyamoto juga tidak ingat sama sekali pada Alice *yaiyalah*, ia mencoba mendapatkan ingatannya kembali dengan cara menemui Alice beberapa kali. Hal tersebut malah menjadi bumerang bagi Hana, karena Miyamoto kemudian malah jatuh cinta pada Alice, begitu juga sebaliknya. Lalu, apa yang akan terjadi pada mereka bertiga, terutama apa yang akan terjadi pada persahabatan Hana dan Alice di saat mereka menyukai laki-laki yang sama? Mana yang akan mereka pilih, cinta atau persahabatan?

Jika kamu anti film remaja dan selalu menganggap film remaja sebagai film murahan, berarti kamu belum menonton film ini. Hana and Alice (judul aslinya Hana to Arisu) adalah satu film remaja yang menurut saya layak banget buat ditonton semua penikmat film. Saya sukaaaaaaa sekali sama film ini. Ceritanya sederhana, menarik, dan gampang untuk diikuti. Tapi meskipun tergolong ke dalam film dengan tema yang ringan, film ini bukanlah tipe film yang gampang dilupakan. Yang paling berkesan dari film ini adalah akting dua pemain utamanya, yaitu Suzuki Anne dan Aoi Yu. Akting mereka berdua (terutama Aoi Yu) turut membuat film ini jadi hidup. Mereka berdua juga menampilkan chemistry yang sangat pas sebagai dua orang sahabat karib. Begitu pula dengan Tomohiro Kaku yang berperan sebagai Miyamoto Masashi (yg dari namanya aja langsung bikin saya ngakak), cowok yang disukai oleh kedua sahabat ini. Saya suka banget sama karakter Miyamoto ini, karena bisa dibilang karakternya ini bukanlah tipe karakter yang mudah dipuja kaum perempuan. Tapi keanehan dan keabnormalan karakternya ini lah yang membuat karakter ini menjadi sangat menarik (plus tampang datar tanpa ekspresi-nya itu menurut saya lucu banget :D).

Salah satu kelebihan film ini adalah sinematografinya yang cantik. Misalnya ketika Hana dan Alice sedang berjalan bersama-sama di adegan awal. Selain itu, saya juga suka banget sama rumahnya Hana yang kelihatan indah banget dan dipenuhi banyak bunga (sesuai dengan nama Hana yang merupakan bahasa Jepang-nya bunga). Sebaliknya, rumah Alice digambarkan sangat berantakan. Hal itu turut didukung latar belakang keluarganya di mana Alice tinggal hanya dengan ibunya saja yang tampaknya tidak begitu peduli pada Alice dan malah berpura-pura bahwa Alice adalah tetangganya ketika ia dan pacarnya bertemu Alice di suatu tempat. Oh iya, adegan favorit saya (dari segi gambar): ketika festival sekolah, Hana dan Miyamoto berbicara di suatu kelas, dan ada balon besar dengan bentuk Astro Boy ‘mengintip’ mereka dari balik jendela. Itu bagus banget XD

Banyak hal yang ingin disampaikan film ini, misalnya mengenai kebohongan. Satu buah kebohongan akan membuka kesempatan bagi kita untuk berbohong lagi dan lagi demi menutupi kebohongan yang pertama tersebut, dan kebohongan macam apa pun adalah tidak baik, dan cepat atau lambat pasti kebohongan-kebohongan tersebut akan terbongkar juga, seperti yang terjadi di film ini. Film ini juga menunjukkan makna persahabatan yang sebenarnya, bahwa persahabatan memiliki nilai yang berbeda dan bahkan lebih penting daripada cinta. Persahabatan juga dapat membuat orang berubah menjadi lebih baik, seperti yang terjadi pada Hana dan Alice, di mana kejadian-kejadian yang menguji persahabatan mereka turut menjadi proses pendewasaan bagi mereka berdua. Well, kesimpulannya, jika kamu ingin menonton film remaja yang menghibur sekaligus berisi, maka tontonlah film ini 🙂

Nb: Abe Hiroshi (Aoi Tori, Dragon Zakura) dan Ryoko Hirosue (Okuribito, Beach Boys) turut bermain dalam film ini sebagai cameo.

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

“How do you say goodbye to someone you can’t imagine living without? I didn’t say goodbye. I didn’t say anything. I just walked away.”

Elizabeth (Norah Jones) harus menerima kenyataan bahwa pacarnya yang sangat ia cintai ternyata memiliki kekasih lain. Hal itu diketahuinya ketika ia datang ke kafe yang biasa dikunjungi pacarnya, dan bertanya tentang pacarnya tersebut kepada si pemilik kafe, yang mengatakan bahwa pacarnya kemarin datang ke kafe tersebut dengan seorang perempuan. Merasa marah sekaligus sedih, Elizabeth kemudian menitipkan kuncinya pada pemilik kafe yang bernama Jeremy (Jude Law) tersebut, agar pacarnya bisa mengambilnya jika datang lagi ke kafe tersebut (sekaligus sebagai tanda perpisahan dari Elizabeth). Keesokan harinya, Elizabeth datang lagi ke kafe tersebut dengan tujuan untuk mengecek apakah kunci tersebut sudah diambil oleh (mantan) pacarnya, yang ternyata belum. Dan begitulah setiap harinya, Elizabeth datang terus ke kafe tersebut untuk mengecek kuncinya sekaligus untuk curhat pada Jeremy. Bagi Jeremy sendiri, ini bukan pertama kalinya ia menemui kejadian seperti ini. Ia sendiri memiliki setoples besar berisi banyak kunci yang pernah dititipkan oleh pengunjung-pengunjung kafe-nya, dan di balik kunci-kunci tersebut terdapat kisah yang berbeda-beda. Elizabeth dan Jeremy pun kemudian menjadi akrab, sampai suatu hari Elizabeth memutuskan untuk mengusir rasa patah hatinya dengan pindah dan bekerja di kota lain. Di bar tempat ia bekerja  (di kota Memphis) ia berkenalan dengan Arnie (David Strathairn), pemabuk yang selalu tampak frustrasi, lalu ada Sue Lynne (Rachel Weisz), perempuan cantik yang ternyata adalah istri Arnie. Lalu di kota lainnya ia bertemu dengan Leslie (Natalie Portman), seorang penjudi yang kemudian meminjam uang pada Elizabeth dan kemudian membawanya ke suatu perjalanan ke Las Vegas. Pertemuannya dengan orang-orang  tersebut membuat Elizabeth mempelajari banyak hal, salah satunya adalah bahwa ‘luka’ akibat patah hati yang dialaminya tidaklah seberapa jika dibanding dengan luka yang dialami orang-orang tersebut.

Tertarik nonton film ini karena melihat jajaran cast-nya yang semuanya menarik. Ada Jude Law, Rechel Weisz, Natalie Portman, dan ditambah penyanyi jazz Norah Jones yang melakukan debut aktingnya di film ini. Pasti ini akan menjadi film yang menarik! Dan untungnya saya tidak dikecewakan oleh nama-nama terkenal tersebut. Saya sangat sangat sangat menyukai film ini. Film bertema patah hati ini berhasil membuat saya jatuh cinta (pada film ini)! Ceritanya sederhana tapi ‘dalem’. Tentang patah hati dan kesepian, suatu hal yang mungkin pernah dialami banyak orang. Dialog-dialog dalam film ini sangat berkesan, dan setelah saya selesai menonton film ini dialog-dialog tersebut masih terngiang-ngiang di kepala saya. Contohnya dialog tentang filosofi blueberry pie (sebelumnya udah pernah saya tulis di blog saya yang ini) yang diucapkan oleh Jeremy ketika Elizabeth bertanya-tanya kenapa pacarnya lebih memilih orang lain. Jeremy mengatakan bahwa di kafenya, blueberry pie adalah makanan yang tidak pernah dibeli oleh pengunjungnya, hal itu bukanlah salah sang blueberry pie tersebut, namun orang-orang lebih memilih makanan yang lain. Juga mengenai kunci-kunci yang disimpan oleh Jeremy yang semuanya memiliki kisah yang berbeda-beda, Elizabeth bertanya kenapa Jeremy tidak membuang kunci-kunci tersebut jika tidak ada yang mengambilnya, dan Jeremy menjawab jika ia membuang kunci-kunci tersebut, pintu-pintu yang memiliki kunci tersebut akan terkunci selamanya, dan itu pun bukan hak dia untuk melakukan itu.

Kisah Arnie dan Sue Lynne juga tidak kalah menarik dan memilukan. Arnie sangat mencintai istrinya yang jauh lebih muda tersebut, tapi Sue Lynne tidak mau dikekang dan ia ingin bebas dari suaminya tersebut. Ketika sesuatu terjadi pada Arnie, kehampaan lalu menyelimuti dirinya. Lalu ada juga kisah Leslie, perempuan tukang judi yang tidak pernah mempercayai siapa pun. Kisah yang ini memang tidak semenyentuh kisah Arnie-Sue Lynne, tapi lumayan meninggalkan kesan yang agak dalam juga.

Dari segi akting, semua pemainnya berakting dengan baik di film yang disutradarai oleh Wong Kar-wai ini. Untuk ukuran debut, Norah Jones menampilkan akting yang lumayan di film ini. Dan Jude Law, aaaah saya suka banget sama karakter Jeremy yang dimainkannya (dan saya seneng liat interaksi dia dengan Elizabeth), dan aktingnya pun bagus di sini. Natalie Portman seperti biasa berakting ciamik di film ini. Tapi yang paling spesial aktingnya di sini menurut saya adalah Rachel Weizs yang berperan sebagai Sue Lynne. Dan dia luar biasa cantik di film ini.

Gambar-gambar di film diambil dengan gaya yang unik. Meskipun beberapa adegan yang dibuat agak slow motion itu tidak begitu nyaman di penglihatan saya, tapi hal tersebut memberikan suatu ciri khas tersendiri. Well, secara keseluruhan film ini sangat bagus dan berkesan banget buat saya. Film yang manis sekaligus pahit. Film ini menunjukkan bahwa patah hati adalah hal yang biasa dan bukan akhir dari segalanya. Film ini cocok untuk ditonton penyuka drama lambat dengan dialog-dialog yang ‘dalem’ dan orang-orang yang pernah merasakan patah hati atau kesepian. 4,5 bintang 🙂

Memorable Quotes:

Elizabeth: So what’s wrong with the Blueberry Pie?
Jeremy: There’s nothing wrong with the Blueberry Pie, just people make other choices. You can’t blame the Blueberry Pie, it’s just… no one wants it.
Elizabeth: Wait! I want a piece.

Elizabeth: The last few days, I’ve been learning not to trust people and I’m glad I’ve failed. Sometimes we depend on other people as a mirror to define us and tell us who we are and each reflection makes me like myself a little more.

Rating : 1 2 3 4 4,5 5

Read Full Post »

Siapa yang tidak mengenal twitter ? Situs microblogging ini sangat populer di mana-mana saat ini, termasuk di Indonesia *terbukti dengan trending topic yang sering didominasi oleh warga Indonesia*. Siapa yang menyangka kalau twitter juga populer di Jepang? Setahu saya, situs-situs buatan Amerika semacam facebook gak laku sama sekali kalo di Jepang, karena mereka lebih senang menggunakan situs-situs buatan mereka sendiri. Tapi ternyata, twitter lumayan mendapat tempat di hati orang Jepang, yang ditunjukan melalui dorama ini.

Dorama ini berkisah tentang pertemuan beberapa orang yang sebelumnya sudah saling mengenal melalui twitter. Jadi ceritanya kopi darat gituuuuh. Orang-orang tersebut *nama berdasarkan panggilan di twitter* adalah Nakaji (Eita), yang mengaku sebagai seorang fotografer; Haru (Ueno Juri), seorang guru SMA; Doctor (Hero JaeJoong), orang Korea yang bekerja di Jepang dan mengaku sebagai seorang dokter; Linda (Tamayama Tetsuji), seorang editor majalah; dan yang terakhir adalah teman Haru yang bernama Hikari, tidak punya akun twitter dan datang ke pertemuan tersebut untuk menemani Haru, mengaku sebagai pramugari, dan setelah pertemuan tersebut akhirnya dia membuat akun twitter juga dengan nama Peach (Saki Megumi).

Kelima orang ini kemudian dengan cepat menjadi sahabat juga di dunia nyata. Mereka pun kemudian dapat menanggalkan segala kepalsuan yang ada di pertemuan pertama mereka, misalnya mengenai profesi mereka yang sebenarnya. Dan dalam hal persahabatan antara pria dan wanita, cinta selalu saja bisa tumbuh *jijay banget bahasa saya*. Haru, sebelum bertemu dengan Nakaji, sudah memiliki sebuah perasaan khusus terhadap pria tersebut. Dan setelah bertemu (meskipun diawali dengan kesan yang buruk), perasaan tersebut semakin dalam saja. Namun sayangnya, Nakaji sendiri saat itu sedang berpacaran dengan seorang wanita ber-suami. Haru sendiri sebenarnya ditaksir habis-habisan oleh Doctor, yang kemudian mengutarakan perasaan tersebut padanya. Sementara Peach, memiliki masalah yaitu ia hamil dan orang yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab. Linda sendiri memiliki masalah berkenaan dengan pekerjaan dan atasannya. Lalu, apa yang akan terjadi pada mereka selanjutnya? Yah, tonton aja lah.

Kalo ditanya apakah saya suka atau tidak pada dorama ini, saya akan menjawab suka. Tapi setelah dipikir-pikir, saya suka dorama ini karena tertarik untuk mengikuti kisah cinta segitiga antara Nakaji – Haru – Doctor, dan ini pun subjektif banget karena saya penggemar Eita dan dari dulu terobsesi  ingin melihat Eita dan Ueno Juri jadi pasangan. Karena itu, saya akan menghilangkan pandangan-pandangan subjektif itu sejenak dan mulai menilai dorama ini secara objektif pada review ini *ehem*.

Dari segi cerita, tidak ada yang baru dari dorama ini. Sesuai judulnya yang memiliki arti “Hard to Say I Love You”, dorama ini bercerita tentang kisah cinta bertepuk sebelah tangan atau kisah cinta yang tidak tersampaikan *ceileh*. Awalnya kisah cinta dorama ini mungkin akan terlihat seperti kisah cinta segitiga, tapi kemudian ceritanya akan berkembang menjadi kisah cinta segi-banyak *yang bikin saya agak sebel*.  Yang menjadi kekurangan dorama ini adalah dorama ini terlalu banyak konflik, tapi konflik tersebut tidak digambarkan dengan jelas dan terlihat seperti tempelan (contohnya tentang murid dan adik Haru yang memakai narkoba), sehingga terasa banyak bolongnya karena setelah itu tidak diceritakan lagi (atau hanya diceritakan sekilas). Latar belakang twitternya pun tidak terlalu kuat, dan hanya ditampilkan sedikit-sedikit, sehingga tampak seperti tempelan saja.

Tapi dorama ini sendiri memiliki sebuah kekuatan untuk membuat penontonnya gregetan dan penasaran untuk mengikuti sampai akhir, melalui kisah cinta segitiga Nakaji-Haru-Doctor. Entah karena saya suka Eita, tapi saya lihat teman-teman twitter saya yang nonton dorama ini kalo ngetwit tentang dorama ini pasti twit-nya berkisar antara mereka bertiga. Menurut saya, hubungan antara mereka bertiga lumayan tergambar dengan baik. Saya senang melihat interaksi Nakaji dengan Haru (dan mungkin karena Eita dan Juri udah kenal lama karena sering maen film / dorama bareng, jadi mereka selalu terlihat cocok). Meskipun ini bukan akting Ueno Juri yang terbaik, tapi dia lumayan berhasil menggambarkan Haru yang melankolis dan menyimpan rasa pada Nakaji (tapi hey juri, tolong dong hilangkan suara diimut-imutin kayak Nodame itu). Eita juga saya rasa berperan baik sebagai Nakaji, meskipun perannya gak istimewa-istimewa amat. Dan kedua orang ini berhasil menampilkan chemistry yang pas, meskipun perasaan Nakaji pada Haru tidak jelas, tapi penonton bisa melihat kalo Nakaji sangat memedulikan Haru. Untuk Jae-joong (yang tampaknya membuat dorama ini banyak ditonton oleh penggemar Korea) yang berperan sebagai Doctor, menurut saya dia lumayan aktingnya, tapi sayangnya saya tidak begitu menyukai karakternya *bukan karena sensi karena dia saingan Nakaji loh, tapi emang dari awal gak begitu suka karakternya*. Untuk karakter lainnya, saya gak begitu peduli. Saya gak begitu suka sama karakter Peach (dan juga pemerannya). Dan meskipun karakter Linda punya masalah yang cukup berat, tapi gak berhasil bikin saya peduli sama dia. Satu lagi, saya kecewa banget sama endingnya. Emang endingnya sesuai keinginan saya, tapi hal tersebut disajikan dengan sangat biasa. Setelah saya nonton dorama ini sampai beres, saya cuma bilang: “Haaah? Gitu doaaang?”

Well kesimpulannya, kalo bukan karena Eita yang main, dorama ini bakal saya lewatkan begitu saja. Mau ngasih 3 bintang, tapi kok kayaknya kegedean, jadi 2, 75 aja ya *biarin tanggung juga* :p

Rating : 1 2 2,75 3 4 5

Read Full Post »