Feeds:
Posts
Comments

Archive for February, 2012

Nakamura Yoshihiro dan Isaka Kotaro adalah dua orang dengan profesi berbeda yang sering melakukan kerja sama dalam beberapa proyek film. Isaka Kotaro adalah seorang penulis novel misteri yang cukup populer di Jepang, sedangkan Nakamura Yoshihiro adalah seorang sutradara yang beberapa filmnya merupakan adaptasi dari novel-novel yang dikarang oleh Isaka Kotaro. Saat ini sudah ada tiga film karya sutradara tersebut yang diangkat dari novel-novel yang ditulis penulis tersebut, antara lain The Foreign Duck, the Native Duck and God in a Coin Locker; Fish Story (sudah pernah direview di sini); dan Golden Slumber. Saat ini pun, sebentar lagi Nakamura Yoshihiro akan mengeluarkan film terbarunya yang berjudul Potechi, yang lagi-lagi merupakan adaptasi dari cerita yang ditulis oleh Isaka Kotaro.

Namun, yang akan saya review kali ini adalah film pertama dari kolaborasi mereka berdua yang berjudul The Foreign Duck, The Native Duck and God in a Coin Locker (judul asli: Ahiru to Kamo no Koinrokka). Film ini bercerita tentang seorang mahasiswa baru bernama Shiina (Hamada Gaku) yang baru saja pindah ke Sendai, tempat di mana ia memulai studinya. Pada saat ia sedang beres-beres di apartemen barunya sambil menggumamkan sebuah lagu, seorang pria menyapanya dengan sapaan “Dylan?” Rupanya pria tersebut menyadari bahwa lagu yang disenandungkan oleh Shiina adalah lagu milik Bob Dylan yang berjudul “Blowin’ in the Wind”. Pria yang ternyata tetangga sebelah kamar Shiina tersebut lalu mengundang Shiina ke kamarnya. Pria tersebut lalu memperkenalkan dirinya sebagai Kawasaki (Eita). Ia berpendapat bahwa suara Dylan adalah suara Tuhan, dan ia berkata bahwa suara Shiina mirip dengan suara Dylan. Obrolan mereka lalu berlanjut dengan membicarakan salah satu tetangga mereka yang lain yang sempat ditemui Shiina sebelumnya, di mana tetangga tersebut terlihat pendiam dan antisosial. Kawasaki memberitahu Shiina bahwa orang tersebut adalah orang asing asal Bhutan yang bernama Kinley Dorji (Tamura Kei). Kawasaki lalu bercerita bahwa Dorji masih mengalami kesedihan karena dua tahun yang lalu ia kehilangan pacarnya yang bernama Kotomi (Seki Megumi), yang tidak lain adalah mantan pacar Kawasaki. Untuk menghibur Dorji, Kawasaki ingin memberinya sebuah hadiah. Kawasaki berkata bahwa Dorji tidak bisa membaca huruf Jepang, dan dari dulu Dorji ingin mengetahui perbedaan antara kata Ahiru (foreign duck) dan Kamo (native duck), dan ia merasa bahwa kamus Kanji Garden dapat membantunya untuk menemukan perbedaan tersebut. Untuk itu, Kawasaki lalu meminta Shiina untuk membantunya mencuri kamus Kanji Garden dari sebuah toko buku. Mengapa harus mencuri dan bukannya membeli saja? Kawasaki berkata bahwa mencuri akan menimbulkan perasaan yang berbeda daripada membelinya. Akhirnya Shiina terbujuk juga untuk membantu Kawasaki. Pada suatu malam, dengan membawa dua buah pistol mainan, mereka berdua pergi ke sebuah toko buku untuk mencuri kamus Kanji Garden (Kawasaki yang masuk ke dalam untuk mencuri, sementara Shiina berjaga di luar).

Sehari setelah pencurian tersebut berhasil dilakukan, Shiina bertemu dan mengobrol dengan seorang wanita pemilik sebuah petshop yang bernama Reiko (Otsuka Nene). Sebelumnya, Kawasaki sempat memperingatkan dirinya agar tidak mempercayai semua yang diucapkan oleh wanita itu. Melalui obrolan tersebut, Shiina akhirnya mengetahui bahwa Kotomi ternyata pernah bekerja di petshop milik Reiko. Selain itu, Reiko juga sempat menyinggung kasus pembunuhan binatang peliharaan yang terjadi dua tahun yang lalu, dan memberitahu Shiina bahwa Kawasaki menderita sebuah penyakit. Terakhir, ia meminta Shiina untuk tidak mempercayai semua yang diucapkan Kawasaki.

Melalui dua sumber berbeda tersebut, Shiina mulai merasa ada yang aneh pada cerita-cerita tersebut. Ia juga merasa ada yang tidak beres pada diri Kawasaki. Apalagi, pria tersebut terlihat semakin mencurigakan karena setiap malam ia sering pergi entah ke mana dengan menggunakan mobilnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapakah Kawasaki sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi pada Dorji?

Sama seperti Fish Story, film ini juga memuat sebuah misteri yang membuat kita penasaran. Di film ini, kita ditempatkan pada posisi yang sama dengan posisi Shiina, yaitu orang yang diseret pada cerita-cerita yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya. Namun, karena adanya kejanggalan pada cerita-cerita tersebut, mau tidak mau ia jadi dibuat penasaran dan ingin mengetahui cerita yang sebenarnya terjadi (meskipun hal itu tidak akan berpengaruh pada hidupnya). Misteri yang dihadirkan film ini memang cukup membuat penasaran, meskipun rasa penasaran di sini bukanlah rasa penasaran menggebu-gebu seperti ketika menonton film misteri yang lain seperti, katakanlah film Mother yang misterinya membuat saya penasaran abis-abisan dan merasa tegang sepanjang film berjalan. Film ini tidak memberikan rasa penasaran semacam itu, tidak menimbulkan perasaan tegang, tapi kita tetap ingin tahu mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Mungkin karena unsur misterinya dicampur dengan unsur komedi ya (meskipun komedi di sini lebih ke dark comedy). Karena itulah, menurut saya misteri yang ada di film ini agak berbeda dengan film-film misteri kebanyakan karena tidak menghasilkan perasaan yang biasanya dirasakan ketika kita menonton film yang murni misteri. Tapi meskipun begitu, saya lumayan menyukai misteri yang ditampilkan film ini, karena misterinya terasa orisinal dan juga unik.

Karena ini film misteri, maka tentunya kita akan dibawa pada satu atau lebih kejutan kan? Begitu juga dengan film ini. Sedikit demi sedikit kita akan dibawa pada berbagai macam kejutan mengenai kisah yang terjadi sebenarnya. Namun, kejutan di sini bukan tipe kejutan yang membelalakan mata, seperti ketika menonton film Mother. Dan juga bukan tipe kejutan yang memuaskan hati, seperti ketika menonton film Fish Story. Jadi, apakah filmnya jelek pris? Nggak, malah saya suka banget sama film ini. Dengan caranya sendiri, film ini berhasil menghadirkan kejutan yang meninggalkan suatu kesan tersendiri setelah menontonnya. Kejutannya terkesan manis, tapi juga pahit. Atau pahit, tapi juga manis. Dan yang pasti, film ini berhasil membuat saya merasa tersentuh dan bersimpati kepada tokoh-tokohnya, meskipun film ini tidak terlihat memiliki tendensi untuk menyentuh hati penontonnya.

Di luar unsur misteri, film ini juga memuat beberapa kritik sosial. Kritik di sini terhadap dua hal. Pertama, kritik terhadap orang Jepang yang sering kali berlaku buruk terhadap orang asing luar Jepang, terutama orang asing yang tidak bisa berbahasa Jepang. Sebelumnya memang saya sudah sering mendengar kalau orang Jepang itu agak-agak gimanaaaa gitu terhadap orang asing, karena mereka sangat bangga akan negaranya sendiri (misalnya dapat dilihat pada adegan ketika ada orang India (?) yang kebingungan mengenai rute bus dan tidak ada yang membantunya sama sekali). Kritik kedua adalah, kritik terhadap para pelaku penyiksaan binatang. Hal ini berkaitan dengan kasus pembunuhan binatang peliharaan yang terjadi dua tahun lalu di film ini. Saya suka penempatan kritik yang ada di film ini. Kritiknya ditempatkan secara samar dan tidak keras, tapi tetap membuat kita aware akan hal itu.

Mari kita beralih pada pemainnya. Para pemeran dalam film ini berhasil menampilkan akting yang memukau. Mulai dari Hamada Gaku (yang juga bermain dalam Fish Story dan Golden Slumber yang merupakan film duet Nakamura-Isaka juga) yang berhasil memerankan karakter Shiina, sosok mahasiswa baru yang polos dan inosen. Eita dengan tatapan manis sekaligus misteriusnya berhasil memerankan Kawasaki yang bisa dibilang merupakan karakter paling aneh dalam film ini. Seki Megumi dan Otsuka Nene juga menampilkan akting yang baik (terutama Otsuka Nene, yang berhasil memerankan sosok wanita yang terlihat misterius dan berkarisma). Jangan dilupakan kehadiran Matsuda Ryuhei, yang aktingnya berhasil mencuri perhatian meskipun porsi tampilnya tidak begitu banyak (dan jadi siapakah dia di sini? Tebak sendiri deh :D).

Overall, saya sangat menyukai film ini. Film ini berhasil meninggalkan perasaan yang berbeda dengan ketika kita menonton film bergenre misteri kebanyakan. Dan dengan caranya sendiri, film ini berhasil membuat saya merasa tersentuh dan terkesan.  4 bintang deh untuk film ini 🙂

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Ada yang ingat dengan film Confessions (Kokuhaku)? Film Jepang garapan Nakashima Tetsuya itu bisa dibilang merupakan salah satu film Jepang favorit saya sepanjang masa. Film yang bercerita tentang pembalasan dendam seorang ibu yang anaknya dibunuh tersebut merupakan adaptasi dari novel yang ditulis oleh Minato Kanae. Di tahun 2012 ini, satu lagi novel karya Minato Kanae, yaitu Shokuzai (The Atonement), difilmkan. Namun, tidak seperti Confessions, Shokuzai tidak diadaptasi menjadi film layar lebar, melainkan menjadi mini seri berjumlah lima episode yang ditayangkan oleh channel WOWOW. Kali ini, orang yang bertugas mengadaptasi novel ini ke layar kaca adalah Kurosawa Kiyoshi, yang sebelumnya sudah sering menyutradarai beberapa film yang sudah diakui kualitasnya, seperti Tokyo Sonata dan Cure.

Shokuzai sendiri masih memiliki kemiripan dengan Confessions, yaitu sama-sama bercerita tentang seorang ibu yang anak perempuannya dibunuh. Anak perempuan tersebut bernama Emiri yang merupakan seorang murid baru (kelas 4 SD) di suatu sekolah. Pada suatu hari, ketika ia sedang bermain dengan empat orang temannya, seorang pria menghampiri mereka. Pria (yang wajahnya tidak diperlihatkan) tersebut mengatakan ia sedang membetulkan kipas yang ada di gymnasium sekolah mereka, dan ia meminta tolong Emiri untuk membantunya karena ada bagian yang tidak bisa ia jangkau. Emiri lalu pergi bersama pria itu. Namun, setelah beberapa lama, Emiri tidak kembali juga. Empat temannya yang khawatir pun lalu menyusul ke gymnasium. Dan sesampainya di sana, Emiri sudah terbujur kaku di lantai gymnasium tersebut.

Adachi Asako (Koizumi Kyoko) yang merupakan ibu dari Emiri tidak sanggup menerima kenyataan atas kematian putrinya tersebut. Belum lagi, pelaku pembunuhan anaknya sama sekali tidak tertangkap, dan empat teman Emiri yang merupakan saksi mata pelaku pembunuhan Emiri mengatakan mereka tidak ingat dengan wajah pembunuh tersebut. Pada suatu hari, tepatnya pada hari ulang tahun Emiri, Asako mengundang empat orang teman Emiri tersebut ke rumahnya. Rupanya Asako tidak bisa memaafkan mereka berempat. Pada pertemuan tersebut Asako berkata pada mereka: “I won’t forgive you. Find the suspect for me. Otherwise, you’ll have to pay. Until the crime solve, I’ll never forgive any of you. You can’t escape from your sins.”

15 tahun berlalu setelah perjanjian tersebut. Empat orang teman Emiri telah tumbuh dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing. Yang pertama adalah Kikuchi Sae (Aoi Yu), yang punya ketakutan tertentu terhadap laki-laki dan punya semacam kelainan di mana ia tidak bisa mengalami menstruasi. Yang kedua adalah Shinohara Maki (Koike Eiko), yang berprofesi sebagai guru SD yang galak dan pada suatu hari mendapat banyak perhatian setelah ia menyelamatkan murid-muridnya dari serangan pria tak dikenal. Yang ketiga adalah Takano Akiko (Ando Sakura), perempuan yang sejak kematian Emiri menjadi anti memakai pakaian yang cantik dan menganggap dirinya sendiri adalah beruang. Lalu terakhir adalah Ogawa Yuka (Ikewaki Chizuru), pemilik toko bunga yang punya kecemburuan tertentu terhadap kakaknya dan punya perhatian khusus terhadap polisi. Setiap tokoh dieksplor dalam setiap episode secara bergantian (jadi episode pertama fokusnya sama Aoi Yu, episode 2 Koike Eiko, dst). Dan di setiap episodenya, tokoh-tokoh tersebut melakukan suatu hal mengejutkan yang mereka anggap sebagai penebusan dosa atas kematian Emiri.

Shokuzai adalah salah satu dorama yang sudah saya tunggu-tunggu sejak dorama ini belum tayang. Selain karena faktor pengarang Confessions dan Kurosawa Kiyoshi, yang membuat saya tertarik pada dorama ini adalah jajaran castnya yang luar biasa. Kebanyakan pemainnya adalah aktor dan aktris yang lebih sering bermain di film ketimbang dorama. Contohnya adalah Koizumi Kyoko (Hanging Garden, Tokyo Sonata), Aoi Yu (Hana and Alice), Koike Eiko (2LDK), Ando Sakura (Love Exposure), dan Ikewaki Chizuru (Josee the Tiger and the Fish). Pemain-pemain pembantunya pun top semua, mulai dari Moriyama Mirai, Kase Ryo, Ito Ayumi, Arai Hirofumi, sampai Kagawa Teruyuki. Dan untungnya saya tidak dikecewakan oleh nama-nama hebat tersebut.

Seperti kebanyakan film-filmnya Kurosawa Kiyoshi (yang sering membuat film horror/thriller), dorama ini memiliki aura yang suram dan kelam. Warna yang dipakai cenderung gelap, dan semakin mendukung atmosfir kelamnya. Alurnya sedikit lambat, tapi tidak membosankan dan malah memperkuat intensitas ketegangannya. Sinematografinya pun sangat mengagumkan, dan membuat dorama ini tidak terlihat sebagai sekadar tayangan televisi karena kualitas gambarnya yang sudah seperti kualitas gambar pada film layar lebar.

Yang paling saya kagumi dari dorama ini adalah proses pembangunan karakternya yang meskipun terlihat perlahan-lahan tetapi pasti. Di setiap episodenya setiap karakter diperkenalkan. Dan dengan memakai sedikit flashback, kita bisa melihat bahwa kepribadian mereka semuanya terbentuk dari kejadian 15 tahun yang lalu, bahkan untuk karakter Yuka (Ikewaki Chizuru) sekalipun yang mengatakan bahwa ia tidak peduli dengan hal tersebut. Semua karakternya tidak diperlihatkan bersih dan suci. Bahkan untuk karakter Asako sang ibu, yang sebenarnya punya andil dalam kematian putrinya, karena belakangan diketahui bahwa kematian putrinya masih memiliki hubungan dengan masa lalunya sendiri. Makanya, shokuzai atau “the atonement” di sini tidak hanya berlaku bagi empat orang teman Emiri saja, melainkan juga pada karakter Asako sendiri. Well, kalo suka sama tontonan yang rada nyikologis, dorama ini tentunya sangat wajib ditonton karena kita bisa melihat bahwa sebuah kejadian bisa mempengaruhi kepribadian berbagai macam orang dengan cara yang berbeda.

Setiap episode dalam dorama ini memiliki cerita yang berdiri sendiri tapi tetap bersinggungan. Dan masing-masing episodenya memiliki cerita yang sangat menarik. Tapi kalo disuruh milih, favorit saya adalah episode pertama (French Doll) dan episode ketiga (Bear Siblings). Dua episode tersebut menurut saya yang paling menarik dan paling menegangkan. Apalagi episode pertama yang menampilkan Aoi Yu, yang menurut saya serem abis. Para pemain dalam dorama ini semuanya menampilkan akting yang bagus dan memukau. Ekspresi-ekspresi yang ditampilkan, kekosongan yang mereka alami, semuanya ditampilkan secara pas dan tidak berlebihan. Dari lima pemeran utama sampai peran-peran pembantu, semuanya menampilkan akting yang cemerlang.

Secara keseluruhan, dorama ini adalah salah satu dorama paling berkesan di tahun 2012 ini. Dan meskipun tahun 2012 baru berjalan dua bulan, sudah pasti saya akan memasukkan dorama ini ke list dorama terbaik tahun 2012. Satu-satunya kelemahan dorama ini menurut saya hanya pada bagian endingnya. Endingnya tetep bagus sih, dan sepertinya memang seperti itulah dorama ini harus berakhir (dan endingnya itu…ironis sekali). Tapi, kalo dibandingin sama episode-episode sebelumnya, menurut saya kualitas episode ini jadi rada menurun dan kalah sama episode-episode sebelumnya. Padahal saya berharap episode akhir ini menjadi puncak dari semua episodenya. Jadi, 4,5 bintang deh untuk dorama ini. Highly recommended.

Rating : 1 2 3 4 4,5 5

Read Full Post »

Takemura Fumiya (Odagiri Joe) adalah seorang mahasiswa fakultas hukum (di tahun kedelapan) yang hidupnya sedang berada di ujung tanduk. Ia adalah pria sebatang kara. Orang tuanya sudah lama menelantarkan dirinya, dan ia punya hutang sebesar 800 ribu yen yang tidak bisa ia bayar. Pada suatu hari, ketika ia sedang memandangi pasta gigi tiga warna yang baru dibelinya, seorang debt collector datang dan mengancam Fumiya agar membayar hutangnya. Setelah mengancam Fumiya (dengan menggunakan kaos kakinya), debt collector itu memberi Fumiya waktu tiga hari untuk membayar hutangnya.

Namun, mencari uang dalam waktu tiga hari adalah suatu kemustahilan bagi Fumiya. Di tengah kebingungannya karena belum mendapat uang juga, si debt collector yang kemarin mengancam Fumiya datang lagi menemui Fumiya. Kali ini ia tidak mengancam Fumiya untuk membayar hutangnya, tapi malah memberikan penawaran yaitu uang sebesar satu juta yen dengan satu syarat. Syaratnya adalah menemani si debt collector itu (yang bernama Fukuhara, diperankan Miura Tomokazu) berjalan-jalan di Tokyo tanpa tujuan yang jelas dan dengan waktu yang tidak ditentukan, bisa sampai tiga hari, satu bulan, atau lebih dari itu. Fumiya yang sudah tidak punya cara lain untuk membayar hutangnya pun menyetujui permintaan aneh tersebut. Perjalanan antara dua orang ini pun dimulai.

Pada saat berjalan-jalan tersebut, nantinya diketahui alasan mengapa Fukuhara meminta Fumiya untuk menemaninya jalan-jalan di Tokyo. Ternyata Fukuhara baru saja membunuh istrinya sendiri (meskipun secara tidak sengaja). Ia meminta Fumiya menemaninya jalan-jalan di sekitar Tokyo karena hal itu adalah hal yang sering ia lakukan dulu bersama istrinya, dan perjalanan mereka akan selesai ketika Fukuhara merasa sudah saatnya ia menyerahkan diri pada polisi. Di perjalanan itu, mereka berdua menemui berbagai macam hal aneh, mulai dari pertengkaran rumah tangga di sebuah tempat makan, musisi jalanan berisik, sampai acara cosplay. Melalui perjalanan itu juga, Fumiya merasa mulai menemukan sesuatu yang tidak pernah dimilikinya dahulu pada diri Fukuhara, yaitu keluarga. Di luar hal itu, tiga orang teman kerja istrinya Fukuhara mulai menyadari bahwa sudah beberapa hari rekan kerja mereka bolos kerja tanpa pemberitahuan. Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Fumiya akan mencoba menahan Fukuhara agar tidak menyerahkan dirinya pada polisi? Dan apakah mayat istri Fukuhara akan ditemukan sebelum Fukuhara menyerahkan dirinya ke polisi? Tonton aja deh kakak.

Adrift in Tokyo (judul asli: Tenten) adalah salah satu film yang disutradarai oleh Miki Satoshi (mengenai sutradara ini, pernah saya singgung sedikit di review Atami no Sousakan). Seperti kebanyakan film-film yang disutradarainya, film ini juga memiliki unsur komedi yang sangat khas. Ya, kekhasan Miki Satoshi memang terletak pada gaya humornya yang sangat random dan aneh. Namun, seperti pada filmnya yang berjudul Turtles Swim Faster Than Expected, keanehan-keanehan tersebut ditempatkan pada kehidupan yang normal. Misalnya seperti terlihat pada tiga orang teman kerja istrinya Fukuhara (yang diperankan oleh para pemain langganan Miki Satoshi yaitu Fuse Eri, Iwamatsu Ryo, Matsushige Yutaka) di mana ketika mereka bekerja mereka malah meributkan hal-hal tidak penting seperti bau rambut atau hal-hal remeh temeh lainnya. Begitu juga dengan tokoh Fumiya dan Fukuhara yang dalam perjalanannya menemukan hal-hal aneh yang terkesan tidak penting. Hal-hal random yang terjadi dalam film ini memang terkesan tidak penting dan tak punya pengaruh kuat pada ceritanya, namun bukankah dalam hidup yang sebenarnya kita juga sering menemui hal-hal random tak penting seperti ini? Dan yang pasti, hal-hal aneh yang ada dalam film ini merupakan salah satu faktor yang menjadikan filmnya menjadi sangat menghibur.

Selain drama dan komedi, film ini juga dapat dikategorikan sebagai road movie. Namun, perjalanan yang dilakukan dalam film ini bukanlah tipe perjalanan yang mengubah nasib seperti pada kebanyakan road movie. Saya sangat menikmati perjalanan kedua tokoh utama dalam film ini. Melalui perjalanan tersebut (di mana jalan-jalan di sini adalah jalan-jalan secara harfiah, pake kaki, bukan pake kendaraan), karakteristik dua tokoh utama tersebut dibangun sedikit demi sedikit dan tanpa butuh waktu yang lama kita mampu dibuat peduli kepada kedua tokoh tersebut. Apalagi ketika di seperempat akhir film, ada tambahan dua tokoh yang membuat film ini menjadi semakin menarik. Film ini juga merupakan salah satu tipe film yang mampu membuat kita menempatkan diri pada posisi karakternya. Saya merasa ikut bahagia dan terharu ketika Fumiya si sebatang kara mulai merasakan kenyamanan ketika bersama dengan Fukuhara dan dua karakter lainnya, dan ikut sedih ketika Fukuhara merasa sudah waktunya menghentikan perjalanan mereka. Perjalanan dalam film ini memang tidak punya pengaruh besar dan mampu mengubah nasib. Namun, melalui perjalanan ini, kedua tokoh ini mulai menemukan hal-hal kecil sederhana yang sebelumnya telah mereka lupakan.

Para pemain dalam film ini berhasil menampilkan penampilan yang baik dan memukau. Saya sangat menyukai akting kedua pemain utamanya, yaitu Odagiri Joe dan Miura Tomokazu, dan mereka berhasil membangun chemistry dengan baik. Di bagian awal, kita dapat melihat sosok Fukuhara sebagai penagih hutang yang kejam sekaligus dingin di mata Fumiya. Namun, semakin ke sini, kita dapat merasakan bahwa Fumiya mulai memandang adanya sosok seorang ayah pada diri Fukuhara, meskipun Fukuhara tidak pernah berlaku seperti ayah atau meninggalkan kepribadian aslinya. Koizumi Kyoko dan Yoshitaka Yuriko juga menampilkan akting yang sangat mencuri perhatian (terutama Yuriko, kehadiran karakter yang diperankannya berhasil membuat saya tertawa). Fuse Eri, Iwamatsu Ryo, dan Matsushige Yutaka (yang bisa dibilang adalah maskot dari film-filmnya Miki Satoshi) pun berhasil membuat film ini menjadi semakin segar dan menarik. Selain hal-hal di atas, saya juga menyukai penggambaran kota Tokyo dalam film ini. Biasanya dalam film-film, Tokyo selalu digambarkan sebagai tempat yang padat dan ramai. Meskipun di film ini masih ada penampakan kota Tokyo yang ramai dengan orang, tapi melalui film ini kita masih bisa menemukan sudut-sudut Tokyo yang sepi dan tenang. Dan yang pasti, setelah menonton film ini saya jadi pengen ikutan jalan-jalan di rute yang mereka lalui tersebut, hehe.

Kesimpulannya, Adrift in Tokyo adalah sebuah film sederhana  yang akan sangat sayang jika dilewatkan. Hal-hal sederhana yang dibalut dengan keanehan dalam film ini berhasil menjadikannya sebagai suatu tontonan yang tidak hanya menghibur, tapi juga berkesan. Dan ini adalah tipe film yang akan menimbulkan suatu senyuman dan perasaan hangat di hati penontonnya. Ja, 4 bintang deh untuk film ini. 🙂

Trivia: Dalam film ini ada cameo dari aktris cantik Aso Kumiko, atau tepatnya cameo dari karakter yang ia perankan dalam dorama Jikou Keisatsu, di mana Odagiri Joe juga bermain dalam dorama itu dan Miki Satoshi pulalah yang menyutradarainya 😀

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Kematian merupakan salah satu topik yang rasanya tidak akan pernah berhenti dibicarakan atau dijadikan sebagai tema sebuah film, seperti juga pada film terbaru karya sutradara Gus Van Sant (Good Will Hunting, Elephant) yang berjudul Restless ini. Dalam film ini, Gus Van Sant membawa kita pada topik mengenai kematian melalui sudut pandang seorang remaja.

Remaja itu bernama Enoch (Henry Hopper), seorang remaja laki-laki yang berbeda dari remaja kebanyakan, di mana ia sama sekali tidak bersekolah dan punya suatu obsesi khusus terhadap kematian. Ya, kematian. Obsesinya pada hal tersebut sudah ditunjukkan dari awal film ini, di mana ia terlihat sedang tiduran sambil ‘menggambar’ di aspal sesuai dengan lekuk tubuhnya (tunjuk poster), seperti yang biasa kita temukan pada lokasi bekas pembunuhan (untuk menandai posisi korban). Obsesinya pada kematian tidak hanya ditunjukkan melalui hal itu saja. Ia juga punya suatu hobi unik yaitu mengunjungi pemakaman orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal. Dan satu hal yang paling ajaib adalah, ia memiliki teman yang merupakan sesosok hantu pilot Kamikaze yang bernama Hiroshi (Ryo Kase).

Pada suatu pemakaman yang didatanginya, ia bertemu dengan Annabel (Mia Wasikowska). Dan setelah beberapa kejadian, mereka mulai dekat dan saling jatuh cinta. Lalu belakangan diketahui bahwa Annabel ternyata seorang penderita kanker, dan menurut perkiraan dokter, hidupnya hanya tinggal menunggu 3 bulan lagi. Lalu, bagaimanakah sikap Enoch, si remaja yang terobsesi dengan kematian, dalam menghadapi kenyataan bahwa orang yang paling disayanginya akan menghadapi kematian tidak lama lagi?

Film yang bercerita tentang orang yang terkena penyakit ganas dan sebentar lagi akan meninggal memang sudah banyak. Tahun lalu juga ada 50/50 yang dibintangi Joseph Gordon-Levitt. Namun, film ini lebih memfokuskan pada sudut pandang orang yang akan ditinggalkan, yaitu karakter Enoch yang punya semacam obsesi khusus pada kematian. Karena obsesinya tersebut, saat pertama kali mendengar bahwa hidup Annabel tinggal tiga bulan lagi, ia mampu bersikap biasa dan bahkan melontarkan kalimat “orang bisa melakukan banyak hal dengan waktu 3 bulan. Kamu bisa belajar bahasa Prancis, pergi ke Afrika, blablabla…” dengan nada santai. Namun, meskipun begitu, pada dasarnya Enoch adalah manusia biasa yang punya rasa sedih. Ketika ajal semakin mendekati Annabel, rasa marah dan tidak rela mulai tumbuh di hati Enoch. Hal itu menunjukkan bahwa kematian memang punya pengaruh yang sangat kuat bagi orang-orang, termasuk pada diri Enoch sekalipun, yang pada awalnya masih bisa tertawa-tawa ketika mendengar gadis yang sangat disayanginya akan meninggal sebentar lagi.

Selain itu, melalui film ini juga kita ditunjukkan bahwa orang yang paling sulit menerima kematian bukanlah orang yang sebentar lagi akan meninggal, melainkan orang-orang yang ditinggalkan. Hal ini selain terlihat dari sikap Enoch juga terlihat dari sikap anggota keluarga Annabel. Sosok Annabel sendiri digambarkan tenang-tenang saja dalam menghadapi penyakitnya, yang menurut saya sebenernya kurang masuk akal sih karena kok bisa-bisanya sih ada orang setabah ini. Tapi mungkin ini supaya perbedaan antara karakternya (yang sebentar lagi akan meninggal) dan karakter Enoch (yang akan ditinggalkan) terlihat lebih kentara. Henry Hopper dan Mia Wasikowska berhasil menampilkan penampilan yang bisa diterima, meskipun bukan penampilan yang luar biasa. Jangan dilupakan karakter Hiroshi yang diperankan aktor Jepang favorit saya, Ryo Kase (alasan utama saya menonton film ini), yang menampilkan akting yang lumayan bagus di sini. Meskipun karakter ini sebenarnya rada gak jelas juga (hantu kah? Ilusi Enoch semata kah?), tapi karakter ini punya peran yang cukup penting untuk memberi sudut pandang yang lain mengenai kematian terhadap karakter Enoch.

Well, meskipun film ini mendapat berbagai macam review negatif dari berbagai kritikus, kenyataannya saya lumayan menikmati film ini. Meskipun ini bukan film yang tergolong luar biasa bagus dan berkesan, dan ada beberapa bagian yang rada datar dan membosankan, menurut saya ini bukanlah film yang buruk. 3,5 bintang deh untuk film ini 🙂

Rating : 1 2 3 3,5 4 5

Read Full Post »