Buat yang lagi lesu dan gak bersemangat, mungkin ada baiknya menonton film ini. Film ini menurut saya merupakan salah satu feel good movie yang menyenangkan dan menghibur. Bercerita tentang Becky Fuller (Rachel McAdams), seorang perempuan workaholic yang baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai executive producer sebuah acara pagi di salah satu stasiun televisi. Setelah sibuk mencari pekerjaan baru, Becky kemudian ditawari bekerja menjadi executive producer sebuah acara pagi bernama Daybreak, sebuah acara TV yang akhir-akhir ini tidak memperoleh rating yang menyenangkan. Morning Glory adalah salah satu film yang dapat membuat mood penontonnya berubah menjadi baik setelah menontonnya. Begitu juga dengan yang terjadi pada saya. Setelah menonton film ini, rasanya saya jadi ketularan semangatnya Becky. Rachel McAdams tampil sangat memikat di sini. Saya seneng sama karakter Becky Fuller yang ceria dan tidak mudah menyerah ini. Harrison Ford dan Diane Keaton juga bermain baik di sini, dan scene ‘pertengkaran’ mereka di acara Daybreak ini berhasil bikin saya senyum-senyum sendiri. Tapi film ini juga memiliki beberapa kekurangan, seperti plotnya yang biasa dan pasaran. Endingnya juga gampang ditebak. Oh ya, meskipun ini film Hollywood tapi entah kenapa saya ngerasa film ini dorama banget (mengingatkan saya pada dorama-dorama bertema profesi semacam News no Onna, bahkan ada beberapa adegan dalam film ini yang mengingatkan saya pada dorama itu). But overall, film ini recommended dan layak tonton kok. Dan jika kamu tertarik dengan dunia televisi atau dunia broadcasting, sangat dianjurkan untuk menonton film ini. 3,5/5
Buat yang kangen animasi Disney bertema putri-putrian semacam Sleeping Beauty, Snow White, dan teman-temannya, mungkin Tangled akan mengobati kerinduan anda pada film-film berjenis seperti itu. Hadir dengan animasi yang lebih canggih dari film-film yang saya sebutkan di atas, Tangled mengangkat cerita yang mungkin sudah tidak asing di telinga kita, yaitu Rapunzel. Rapunzel yang rambutnya puanjaaaaaaaaaang itu merupakan salah satu tokoh dalam dongeng klasik yang diciptakan Grimm bersaudara (Cinderella, Sleeping Beauty). Tangled sendiri tidak berbeda dengan film-film Disney sebelumnya di mana slogan happily ever after masih berlaku di film ini. Namun, yang menyenangkan dari film ini adalah tidak ada karakter pangeran tampan yang biasanya seolah-olah diwajibkan untuk selalu ada dalam kisah-kisah seperti ini. Karakter pria dalam film ini bukanlah pangeran, melainkan seorang pencuri yang tentu saja tidak sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Tapi itu malah yang saya suka dari versi Rapunzel yang satu ini. Kisahnya jadi lebih manusiawi, meskipun slogan happily ever after-nya tetap tidak hilang. Secara keseluruhan film ini menghibur banget, dan membuktikan bahwa dongeng klasik tetap bisa dinikmati sampai sekarang. Banyak adegan yang menurut saya lucu dan bikin saya ketawa. Lagu-lagunya juga enak dan Disney banget. So, buat yang kangen cerita putri-putrian ala Disney, boleh tuh ditonton. 4/5
3. Evangelion: 1.0 You Are (Not) Alone (Japan, 2007)
Udah lama penasaran banget sama film ini. Well, sejujurnya saya bukan penggemar anime mecha. Saya sulit sekali menikmati anime-anime semacam Gundam. Saya juga belum pernah nonton Neon Genesis Evangelion sebelumnya. Tapi saya penasaran sama serial tersebut karena banyak yang memberi pujian dan tampaknya anime itu tidak sekadar bercerita tentang mecha saja. Tapi karena belum kesampaian nonton versi serialnya, maka saya nonton versi movie-nya karena kebetulan saya nemu dvd-nya di lapak yang biasa saya kunjungi. Dan hasilnya….hmmm, tampaknya saya memang tidak cocok dengan mecha. Katanya, walaupun belum nonton serialnya pasti bakalan ngerti filmnya. Tapi saya masih bingung pas nonton. Permasalahan langsung ada di bagian awal. Dan saya merasa tidak diberi kesempatan untuk ‘berkenalan’ dengan Evangelion ini. Siapa sih Shinji Ikari itu? Kenapa dia yang dipilih jadi pilot Eva? Trus-trus, Rei Ayanami itu siapa? Kok kayaknya kudu nonton serialnya dulu ya biar ngerti? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak saya sepanjang nonton film ini, dan sampai akhir belum terjawab. Pertempuran mecha-nya juga buat saya kurang seru (tapi ini sih emang saya kurang suka yang seperti itu). Tadi saya bilang bahwa tampaknya film ini bukan sekadar tentang mecha saja. Iya sih, di sini juga kita diseret pada kondisi psikologis tokoh Shinji Ikari (yang nantinya akan berkaitan dengan judulnya). Tapi saya yang biasanya tertarik sama masalah seperti itu rasanya sulit bersimpati pada tokoh itu. Jadi, maaf, tampaknya saya tidak cocok dengan film ini. 3/5