Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘ito ayumi’

Ada yang ingat dengan film Confessions (Kokuhaku)? Film Jepang garapan Nakashima Tetsuya itu bisa dibilang merupakan salah satu film Jepang favorit saya sepanjang masa. Film yang bercerita tentang pembalasan dendam seorang ibu yang anaknya dibunuh tersebut merupakan adaptasi dari novel yang ditulis oleh Minato Kanae. Di tahun 2012 ini, satu lagi novel karya Minato Kanae, yaitu Shokuzai (The Atonement), difilmkan. Namun, tidak seperti Confessions, Shokuzai tidak diadaptasi menjadi film layar lebar, melainkan menjadi mini seri berjumlah lima episode yang ditayangkan oleh channel WOWOW. Kali ini, orang yang bertugas mengadaptasi novel ini ke layar kaca adalah Kurosawa Kiyoshi, yang sebelumnya sudah sering menyutradarai beberapa film yang sudah diakui kualitasnya, seperti Tokyo Sonata dan Cure.

Shokuzai sendiri masih memiliki kemiripan dengan Confessions, yaitu sama-sama bercerita tentang seorang ibu yang anak perempuannya dibunuh. Anak perempuan tersebut bernama Emiri yang merupakan seorang murid baru (kelas 4 SD) di suatu sekolah. Pada suatu hari, ketika ia sedang bermain dengan empat orang temannya, seorang pria menghampiri mereka. Pria (yang wajahnya tidak diperlihatkan) tersebut mengatakan ia sedang membetulkan kipas yang ada di gymnasium sekolah mereka, dan ia meminta tolong Emiri untuk membantunya karena ada bagian yang tidak bisa ia jangkau. Emiri lalu pergi bersama pria itu. Namun, setelah beberapa lama, Emiri tidak kembali juga. Empat temannya yang khawatir pun lalu menyusul ke gymnasium. Dan sesampainya di sana, Emiri sudah terbujur kaku di lantai gymnasium tersebut.

Adachi Asako (Koizumi Kyoko) yang merupakan ibu dari Emiri tidak sanggup menerima kenyataan atas kematian putrinya tersebut. Belum lagi, pelaku pembunuhan anaknya sama sekali tidak tertangkap, dan empat teman Emiri yang merupakan saksi mata pelaku pembunuhan Emiri mengatakan mereka tidak ingat dengan wajah pembunuh tersebut. Pada suatu hari, tepatnya pada hari ulang tahun Emiri, Asako mengundang empat orang teman Emiri tersebut ke rumahnya. Rupanya Asako tidak bisa memaafkan mereka berempat. Pada pertemuan tersebut Asako berkata pada mereka: “I won’t forgive you. Find the suspect for me. Otherwise, you’ll have to pay. Until the crime solve, I’ll never forgive any of you. You can’t escape from your sins.”

15 tahun berlalu setelah perjanjian tersebut. Empat orang teman Emiri telah tumbuh dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing. Yang pertama adalah Kikuchi Sae (Aoi Yu), yang punya ketakutan tertentu terhadap laki-laki dan punya semacam kelainan di mana ia tidak bisa mengalami menstruasi. Yang kedua adalah Shinohara Maki (Koike Eiko), yang berprofesi sebagai guru SD yang galak dan pada suatu hari mendapat banyak perhatian setelah ia menyelamatkan murid-muridnya dari serangan pria tak dikenal. Yang ketiga adalah Takano Akiko (Ando Sakura), perempuan yang sejak kematian Emiri menjadi anti memakai pakaian yang cantik dan menganggap dirinya sendiri adalah beruang. Lalu terakhir adalah Ogawa Yuka (Ikewaki Chizuru), pemilik toko bunga yang punya kecemburuan tertentu terhadap kakaknya dan punya perhatian khusus terhadap polisi. Setiap tokoh dieksplor dalam setiap episode secara bergantian (jadi episode pertama fokusnya sama Aoi Yu, episode 2 Koike Eiko, dst). Dan di setiap episodenya, tokoh-tokoh tersebut melakukan suatu hal mengejutkan yang mereka anggap sebagai penebusan dosa atas kematian Emiri.

Shokuzai adalah salah satu dorama yang sudah saya tunggu-tunggu sejak dorama ini belum tayang. Selain karena faktor pengarang Confessions dan Kurosawa Kiyoshi, yang membuat saya tertarik pada dorama ini adalah jajaran castnya yang luar biasa. Kebanyakan pemainnya adalah aktor dan aktris yang lebih sering bermain di film ketimbang dorama. Contohnya adalah Koizumi Kyoko (Hanging Garden, Tokyo Sonata), Aoi Yu (Hana and Alice), Koike Eiko (2LDK), Ando Sakura (Love Exposure), dan Ikewaki Chizuru (Josee the Tiger and the Fish). Pemain-pemain pembantunya pun top semua, mulai dari Moriyama Mirai, Kase Ryo, Ito Ayumi, Arai Hirofumi, sampai Kagawa Teruyuki. Dan untungnya saya tidak dikecewakan oleh nama-nama hebat tersebut.

Seperti kebanyakan film-filmnya Kurosawa Kiyoshi (yang sering membuat film horror/thriller), dorama ini memiliki aura yang suram dan kelam. Warna yang dipakai cenderung gelap, dan semakin mendukung atmosfir kelamnya. Alurnya sedikit lambat, tapi tidak membosankan dan malah memperkuat intensitas ketegangannya. Sinematografinya pun sangat mengagumkan, dan membuat dorama ini tidak terlihat sebagai sekadar tayangan televisi karena kualitas gambarnya yang sudah seperti kualitas gambar pada film layar lebar.

Yang paling saya kagumi dari dorama ini adalah proses pembangunan karakternya yang meskipun terlihat perlahan-lahan tetapi pasti. Di setiap episodenya setiap karakter diperkenalkan. Dan dengan memakai sedikit flashback, kita bisa melihat bahwa kepribadian mereka semuanya terbentuk dari kejadian 15 tahun yang lalu, bahkan untuk karakter Yuka (Ikewaki Chizuru) sekalipun yang mengatakan bahwa ia tidak peduli dengan hal tersebut. Semua karakternya tidak diperlihatkan bersih dan suci. Bahkan untuk karakter Asako sang ibu, yang sebenarnya punya andil dalam kematian putrinya, karena belakangan diketahui bahwa kematian putrinya masih memiliki hubungan dengan masa lalunya sendiri. Makanya, shokuzai atau “the atonement” di sini tidak hanya berlaku bagi empat orang teman Emiri saja, melainkan juga pada karakter Asako sendiri. Well, kalo suka sama tontonan yang rada nyikologis, dorama ini tentunya sangat wajib ditonton karena kita bisa melihat bahwa sebuah kejadian bisa mempengaruhi kepribadian berbagai macam orang dengan cara yang berbeda.

Setiap episode dalam dorama ini memiliki cerita yang berdiri sendiri tapi tetap bersinggungan. Dan masing-masing episodenya memiliki cerita yang sangat menarik. Tapi kalo disuruh milih, favorit saya adalah episode pertama (French Doll) dan episode ketiga (Bear Siblings). Dua episode tersebut menurut saya yang paling menarik dan paling menegangkan. Apalagi episode pertama yang menampilkan Aoi Yu, yang menurut saya serem abis. Para pemain dalam dorama ini semuanya menampilkan akting yang bagus dan memukau. Ekspresi-ekspresi yang ditampilkan, kekosongan yang mereka alami, semuanya ditampilkan secara pas dan tidak berlebihan. Dari lima pemeran utama sampai peran-peran pembantu, semuanya menampilkan akting yang cemerlang.

Secara keseluruhan, dorama ini adalah salah satu dorama paling berkesan di tahun 2012 ini. Dan meskipun tahun 2012 baru berjalan dua bulan, sudah pasti saya akan memasukkan dorama ini ke list dorama terbaik tahun 2012. Satu-satunya kelemahan dorama ini menurut saya hanya pada bagian endingnya. Endingnya tetep bagus sih, dan sepertinya memang seperti itulah dorama ini harus berakhir (dan endingnya itu…ironis sekali). Tapi, kalo dibandingin sama episode-episode sebelumnya, menurut saya kualitas episode ini jadi rada menurun dan kalah sama episode-episode sebelumnya. Padahal saya berharap episode akhir ini menjadi puncak dari semua episodenya. Jadi, 4,5 bintang deh untuk dorama ini. Highly recommended.

Rating : 1 2 3 4 4,5 5

Read Full Post »

Jadi ceritanya saya lagi libur kuliah (tapi ikut sp satu mata kuliah sih) dan selama libur ini kerjaan saya nonton film terus. Saking banyaknya film yang ditonton, saya sampai bingung mau nge-review yang mana dulu. Karena itu kali ini saya akan nulis review singkat dari beberapa film (gak semua ya, kebanyakan soalnya :p) yang saya tonton belakangan ini. Mungkin kalau tidak malas, beberapa film dalam review ini akan saya buatkan review versi panjangnya.

1. Linda Linda Linda (Japan, 2005)

Salah satu film remaja Jepang yang cukup bagus dan menarik. Idenya sederhana, tentang sebuah band yang beranggotakan siswi-siswi SMU yang akan tampil dalam festival sekolah, namun menemui masalah yang menyebabkan dua personil band itu keluar (termasuk sang vokalis). Beberapa hari sebelum tampil, mereka pun mencari vokalis baru secara ‘asal’. Adalah  Son, siswi pindahan dari Korea Selatan, yang menjadi vokalis baru mereka. Lalu timbul berbagai kejadian sebelum mereka tampil, dan meskipun baru beberapa hari, karakter Son ini akhirnya menemukan kegembiraan dan semangat baru sejak bergabung dengan band tersebut. Film ini menarik dan cukup menghibur. Yang saya suka adalah ide cerita film ini sama sekali tidak muluk-muluk, namun tidak mengurangi daya tarik film ini. Akting Bae Doona sebagai orang Korea yang sekolah di Jepang sangat memikat. Begitu juga dengan Kashii Yuu. Terakhir, habis nonton film ini saya jadi terus terngiang-ngiang sama lagu Linda Linda dari The Blue Hearts yang mereka bawakan pada festival tersebut :D. 3,5 / 5

2. Kick-Ass (2010)

Sebenarnya saya tidak pernah tertarik  pada film-film bertema superhero. Bukan karena jelek, tapi memang bukan selera saya saja. Tapi begitu mendengar bahwa superhero-superhero dalam Kick-Ass bukanlah superhero beneran (maksudnya mereka tidak mempunyai kekuatan super), saya pun jadi pengen nonton film ini, dan ternyata saya menyukai filmnya. Film ini lucu dan segar. Humornya yang tergolong ke dalam humor-humor masa kini lumayan menghibur. Dan yang membuat film ini semakin menarik adalah karakter Hit Girl yang diperankan Chloe Moretz. Meskipun memancing banyak perdebatan, tapi saya cinta karakter ini. 4/5

3. Rainbow Song (Japan, 2006)

Nama Shunji Iwai yang berperan sebagai produser dan co-writer film ini lah yang membuat saya menonton film ini. Belum lagi ada Hayato Ichihara, Ueno Juri, dan Yu Aoi. Dan saya gak nyesel nontonnya! Ceritanya termasuk klise, tentang persahabatan yang menjadi cinta *ceileh*. Cewek dan cowok bersahabat, lalu si cewek mulai jatuh cinta pada si cowok. Tapi sebelum si cowok menyadari perasaannya pada si cewek, si cewek keburu meninggal (tenang ini bukan spoiler karena dari awal kita sudah diberitahu kalo ceweknya meninggal). Cerita seklise apapun kalau dikemas dengan baik, pasti akan jadi film yang bagus. Begitu juga dengan film ini. Saya sangat menikmati film ini dari awal sampai akhir. Ueno Juri berakting sangat bagus di film ini sebagai karakter cewek yang meninggal itu. Dan Hayato Ichihara, ini kali kedua saya melihat dia setelah melihatnya di Lily Chou-chou, dan penampilan fisiknya udah jauh berubah dari pas di Lily Chou-chou. Yu Aoi, meskipun kemunculannya tidak begitu banyak  tapi tetap menampilkan akting yang memikat. Sebenarnya film ini memiliki beberapa kekurangan, tapi tidak begitu mengganggu. Yang jelas, ini tipe film yang akan saya tonton berkali-kali. 3,75/5.

4. The Girl Who Leapt Through Time (Japan, 2006)

Akhir-akhir ini lagi ketagihan nonton anime yang berbentuk movie. Dan film ini adalah salah satu anime movie yang sangat saya rekomendasikan untuk ditonton! Tentang seorang siswi SMU yang tiba-tiba memiliki kemampuan untuk meloncati waktu. Dan kemampuannya ini digunakannya untuk mengubah hal-hal yang bisa dibilang sederhana, namun nantinya akan menimbulkan masalah. Film ini lucu dan menghibur, animasinya juga bagus. Selain itu film ini menampilkan kejutan yang tidak saya duga. Review panjangnya menyusul ya. 4/5.


5. The Notebook (2004)

Karena saya ini termasuk orang yang menyukai film-film cinta yang mengharu biru, awalnya saya kira film ini akan berhasil membuat saya termehek-mehek. Tapi nyatanya, dari awal sampai akhir, ekspresi saya tetap datar. Ya ya ya, mungkin ada yang salah pada diri saya karena sebagian besar orang yang menonton film ini mengatakan film ini mengharukan dan sebagainya. Tapi entahlah, saya tidak bisa merasakan kedalaman hubungan antara Noah dan Allie. Karakter Noah yang begitu hidup di bagian awal, setelah berpacaran dengan Allie kok rasanya jadi melempem dan tidak terasa semangatnya. Tapi di luar itu saya suka aktingnya Rachel McAdams. 2,75/5

6. Perfect Blue (Japan, 1998)

Anime movie juga, disutradarai oleh Satoshi Kon. Ceritanya tergolong berat dan sama sekali bukan konsumsi anak-anak karena menampilkan sedikit nudity dan kekerasan. Tentang seorang pop idol yang memutuskan ganti haluan menjadi seorang aktris. Dan hal ini menimbulkan masalah karena ada fans yang tidak setuju dan sebagai aktris ia dituntut untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak dia inginkan. Belum lagi setelah itu muncul persona/kepribadian lain yang terus menghantuinya. Sebuah thriller psychology yang lumayan mencekam. Endingnya juga mengejutkan dan gak ketebak. Sebenernya saya ngerasa kalo film ini dibikin jadi live action, pasti filmnya akan semakin bagus. Tapi okelah anime juga, meskipun saya agak kurang suka desain karakternya. 4,5/5

7. Being John Malkovich (1999)

Edan film ini bagus banget! Jenius! Ceritanya termasuk orisinil dan menampilkan kejutan-kejutan yang tak terduga. Skenarionya ditulis oleh orang yang menulis skenario Eternal Sunshine of The Spotless Mind yang sama-sama sangat orisinil, yaitu Charlie Kaufman. Dan, menurut saya film ini lebih mudah dimengerti daripada Eternal Sunshine. Setidaknya saya tidak perlu mengulang-ngulang beberapa adegannya agar bisa mengerti sepenuhnya seperti pada saat saya nonton Eternal Sunshine. Selain ceritanya yang jenius, film ini juga menurut saya termasuk menghibur dan sudah pasti film ini masuk ke daftar my all time favorite movies. Review panjangnya tunggu saja ya 😀 5/5

8. Aoi Tori / The Blue Bird (Japan, 2008)

Nonton film ini karena faktor Kanata Hongo, dan agak nyesel nontonnya. Mengangkat tema school bullying, sebenarnya film ini berpotensi jadi bagus. Tapi saya malah kebosanan mengikutinya. Karakter guru gagap yang dimainkan Abe Hiroshi sebenarnya unik, tapi entah kenapa saya tidak bisa bersimpati padanya, dan tanggapan saya padanya sama seperti tanggapan murid-murid di sini. Latar belakang anak yang pindah sekolah karena dibully itu pun kurang kuat, mungkin kalo ditampilkan potongan adegan-adegan yang menampilkan karakter ini ketika bersekolah di sekolah itu, film ini akan jadi lebih menarik. Dan Kanata Hongo, kerjanya cemberut aja sik, tapi tetep cakep *alah*. 2,5/5

9. Despicable Me (2010)

Filmnya lucu dan mengharukan, dan tentunya sangat menghibur. Lelucon-leluconnya sebenarnya banyak yang slapstick, tapi tidak begitu mengganggu kok. Dan sejak karakter Gru ini mengadopsi tiga anak yatim piatu tersebut, ceritanya jadi mudah ketebak, tapi meskipun begitu film ini tetap menghibur. Dan yang menonton film ini pasti jatuh cinta pada karakter minion-minion yang menggemaskan itu. Ihik. Pengen cari merchandise-nya. 3,75/5

Read Full Post »

Gara-gara Hana and Alice, saya jadi tertarik untuk menonton film arahan Shunji Iwai (sutradara Hana and Alice) yang lainnya. Dengar-dengar, All About Lily Chou-Chou adalah salah satu karya terbaik sutradara tersebut. Saya pun menonton film ini. Sama seperti Hana and Alice, Iwai mengangkat tema “dunia remaja” dalam film ini. Namun, jika dunia remaja dalam Hana and Alice digambarkan dengan cerah ceria, tidak begitu dengan All About Lily Chou-Chou. Dunia remaja dalam film ini adalah dunia yang gelap dan suram. Film ini juga mengangkat sebuah realita yang sering terjadi di sekolah-sekolah di Jepang (atau mungkin di negara-negara lainnya) yaitu school bullying.

Sebelum saya bercerita mengenai cerita film ini, mari kita lihat dulu judulnya, All About Lily Chou-chou. Siapakah Lily Chou-chou? Dia adalah tokoh fiktif yang diciptakan khusus untuk film ini. Diceritakan dia adalah penyanyi Jepang yang memiliki banyak penggemar fanatik. “She was born on December 8th 1980, at 10.50 pm, the exact time Mark David Chapman killed John Lennon.” Itu adalah sekelumit kalimat yang menerangkan penyanyi tersebut, melalui percakapan-percakapan dalam sebuah forum internet (atau bbs?). Yang mengucapkan (atau mengetikkan, dalam hal ini) kalimat tersebut adalah Philia, admin forum tersebut. Percakapan dalam forum tersebut pun mengalir, yang kebanyakan memuja Lily (namun ada jg yang menghujat) sebagai penyanyi yang memiliki Ether, yang maksud dari kata itu sendiri saya tidak tahu. Namun mengenai kata itu, mari kita bahas nanti.

Percakapan-percakapan awal di forum itu terdapat pada opening film ini yang menurut saya cukup keren, dengan pemandangan seorang remaja laki-laki tengah berdiri di tengah sawah (tunjuk poster) yang sedang mendengarkan musik dari discman-nya (waktu itu belum jaman Ipod :p), dan diiringi lagu Arabesque dari Lily Chou-chou. Remaja laki-laki itu bernama Yuichi Hasumi (Hayato Ichihara). Dia adalah remaja berusia sekitar 14 tahun dan merupakan salah satu pemuja Lily Chou-chou. Lalu kita akan melihat bagaimana kesehariannya, berkeliaran dengan anak-anak nakal, mencuri CD (bukan, bukan yang segitiga) dari toko dan menjualnya kembali. Lalu, apakah itu berarti Yuichi anak nakal? Tidak. Yuichi melakukan itu karena ancaman seseorang, yaitu Hoshino (Shugo Oshinari) yang meupakan teman sekolahnya. Yuichi adalah kaki tangan sekaligus korban bullying Hoshino. Hoshino selalu menyiksa dan mempermalukan dirinya, bahkan ia juga menghancurkan CD album terbaru Lily Chou-chou kepunyaan Yuichi.

Kita kemudian akan dibawa pada beberapa waktu sebelum itu terjadi. Kita akan dikejutkan bahwa dulu, Yuichi dan Hoshino adalah sahabat dekat. Bahkan, yang memperkenalkan musik Lily Chou-chou pada Yuichi adalah Hoshino. Hoshino juga dulu terkenal sebagai anak baik-baik dan salah satu siswa terpintar di sekolah. Setelah berlibur ke Okinawa dengan Yuichi dan teman-teman lainnya, perubahan mulai tampak pada diri Hoshino. Ia jadi badung dan nakal, dan suka membully anak-anak lainnya, termasuk sahabatnya sendiri, Yuichi. Salah satu korban lainnya adalah Shiori Tsuda (Yu Aoi), teman sekelas Yuichi, yang diseret oleh Hoshino untuk memasuki dunia prostitusi dan mengambil sebagian keuntungan yang didapatnya. Lalu ada juga Yoko Kuno (Ito Ayumi), gadis yang pintar memainkan piano dan pecinta Debussy, yang kemudian turut menjadi korban bullying Hoshino. Lalu, apa yang akan terjadi pada mereka semua? Apakah Hoshino akan berhenti melakukan tindakan kejam pada teman-temannya? Apa hubungannya dengan Lily Chou-chou? Tonton aja deh.

All About Lily Chou-Chou adalah sebuah film yang memiliki dua kemungkinan bagi anda yang menontonnya. Yang menontonnya mungkin akan membenci atau mencintai film ini, namun  akan jarang yang menganggapnya biasa-biasa saja selain dua perasaan tersebut (ini teori seenak saya, gak usah dipercaya). Saya sendiri termasuk ke golongan nomor 2, yaitu yang mencintai film ini. Well, setelah menonton film ini, saya terus kepikiran dan terngiang-ngiang sama ceritanya. Film ini ‘sakit’ dan bikin depresi (dan sepertinya saya penyuka film-film depressing). Film ini membuat kita merasa miris melihat anak-anak remaja yang harusnya memiliki masa depan yang masih sangat panjang harus dihancurkan hidupnya hanya karena satu orang. Namun, itulah kenyataannya. Hidup memang bisa menjadi sangat kejam.

Untuk karakter Hoshino sendiri, saya tidak bisa membenci karakter ini. Bukannya saya menyetujui tindakan tak terpuji karakter ini. Tapi perasaan saya pada dia lebih kepada kasihan daripada benci. Mungkin orang-orang akan bertanya, kenapa karakter ini tiba-tiba berubah? Saya rasa itu bukan tanpa alasan. Menurut saya, dia lelah karena selalu dianggap sebagai orang yang cerdas dan sempurna, padahal dia tidak seperti itu. Ia ingin orang lain melihat dirinya sebagaimana dirinya yang sebenarnya, namun orang-orang tetap memandangnya terlalu tinggi. Nobody understands me, katanya. Karena itu, ketika di Okinawa ia hampir mati karena tenggelam, ia mulai berubah dan melepaskan image baik-baik yang dikenakannya, dan segala rasa muak yang ia tahan sebelumnya ia keluarkan habis-habisan karena pengalaman hampir matinya tersebut membuatnya merasa mungkin ia tidak akan mendapat kesempatan hidup lagi, sehingga ia mulai menampakan kepribadiannya yang sebenarnya.

Semua pemain di film ini berakting dengan baik. Well, akting mereka lebih banyak ditunjukkan melalui ekspresi-ekspresi yang mereka tampilkan (yang menurut saya inilah kelebihan film Jepang, aktor-aktrisnya lebih banyak bermain dengan ekspresi, sehingga banyak film jepang yang dialognya tidak begitu banyak). Oh ya, di film ini juga  ada Yu Aoi (yang jadi Alice di Hana and Alice) dan menurut saya aktingnya bagus banget. Dia memang aktris yang sangat berbakat 🙂 Dan, seperti di Hana and Alice, sinematografi film ini juga sangat bagus. Selain selalu menyuguhkan cerita yang bagus, kelebihan Shunji Iwai tampaknya ada pada sinematografinya yang wajib diberi 4 jempol. Salut!

Lalu, apa hubungannya Lily Chou-Chou dengan cerita film in? Well, 4 karakter utama film ini semuanya adalah penggemar Lily Chou-Chou (meskipun karakter Shiori baru suka belakangan). Menurut pendapat anggota forum pecinta Lily Chou-Chou yang ada di film ini, musik Lily Chou-Chou itu memiliki ether, yang menurut salah satu anggota dapat diartikan sebagai “a place of eternal peace”. Lily Chou-Chou adalah semacam pelarian dari kehidupan nyata mereka yang penuh kesemrawutan. Hanya dengan mendengar Lily Chou-Chou sajalah mereka dapat menemukan kedamaian. Makanya karakter Lily Chou-Chou ini dipuja habis-habisan oleh para penggemarnya karena musiknya dianggap dapat menyembuhkan luka mereka. Oh ya, percakapan di forum tersebut (yang terselip di beberapa adegannya) memberikan suatu teka-teki tersendiri untuk kita pecahkan. Kita akan dibuat bertanya-tanya apakah user-user forum tersebut adalah karakter-karakter di film ini (seperti Yuichi, Hoshino, dan lainnya)? Kita dapat melihat bahwa user yang menonjol di forum tersebut adalah Philia (admin forum tersebut) dan Blue Cat (member yg tergolong baru dan kemudian memiliki semacam ‘kedekatan’ dengan Philia di forum tersebut). Siapakah mereka sebenarnya? Hal tersebut akan terjawab di bagian akhir, meskipun hal tersebut diperlihatkan secara tersirat, tapi kalo jeli pasti akan ketebak (dan hal tersebut tidak sesuai bayangan saya di awal-awal). Terakhir, soundtrack film ini bener-bener bagus!! Saya langsung download soundtrack film ini (btw yang menyanyikan lagu-lagu di album ini sekaligus yg memerankan Lily Chou-Chou adalah penyanyi Jepang bernama Salyu) dan lagu-lagunya langsung nempel di kepala saya. Dan setelah mendengar soundtracknya, rasanya saya jadi benar-benar mengerti makna kata “the ether” yang sering dibilang penggemar Lily Chou-chou. YES! I CAN FEEL THE ETHER! Favorit saya lagu Glide yang berada di bagian credits film ini. Benar-benar lagu yang bagus dan penempatannya juga pas 🙂 Terakhir (terakhir terus nih, kapan beresnya?), meskipun karakter Lily Chou-Chou ini hanya hidup melalui lagu-lagu serta pembicaraan para anggota forum (dan cuplikan video klip di konser), menurut saya karakter ini terasa nyata sekali. Sayangnya ini cuma karakter fiktif.

Hmm, sebenernya masih banyak yang pengen saya tulis mengenai film ini karena film ini menurut saya berpotensi untuk mengundang berbagai macam diskusi, tapi tampaknya reviewnya udah kepanjangan ya. Saran terakhir saya, lebih baik tonton film ini setidaknya dua kali, karena menurut saya film ini tidak mudah dipahami dengan sekali nonton. 5 bintang dari saya 🙂

Rating : 1 2 3 4 5

Read Full Post »

Peringatan: Review ini mengandung SPOILER, jadi jika anda tidak menyukai spoiler, silakan cepat-cepat tutup tab blog ini sebelum terlambat 🙂

Tokyo. Apa yang ada di pikiran anda ketika mendengar kata itu? Nama kota? Ibu kota Jepang? Kota terpadat di Jepang? Lalu, bagaimana pandangan anda terhadap kota tersebut? Saya sendiri belum pernah menginjakkan kaki di kota tersebut, tapi berhubung saya punya hobi nonton film / dorama Jepang dan juga baca komik Jepang yang sering menggunakan kota Tokyo sebagai latarnya, saya jadi tidak terlalu asing dengan kota ini dan punya impian untuk suatu hari menginjakkan kaki di kota tersebut (amiiiin). Lalu, bagaimana tanggapanmu jika mendengar tiga orang sutradara dari tiga negara berbeda di luar Jepang menuangkan pemikiran mereka mengenai Tokyo ke dalam tiga buah film pendek? Kalo saya sih, penasaran, hehe :p

Tokyo! adalah sebuah film berbentuk “antologi” yang terdiri dari tiga film pendek yang masing-masing berdurasi sekitar 30-40 menit yang disutradarai oleh tiga sutradara berbeda yang semuanya menggunakan kota Tokyo sebagai latar belakang tempatnya. Film pertama berjudul “Interior Design” yang disutradarai oleh Michel Gondry, sutradara yang pernah membuat saya terpesona melalui salah satu karyanya yang berjudul Eternal Sunshine of the Spotless Mind, sebuah film yang memiliki cerita yang unik sekaligus absurd. Ke-absurd-an juga saya temukan dalam Interior Design. Karena itu, anda tidak perlu mengerutkan kening melihat hal-hal di luar akal sehat yang ada di film ini, cukup nikmati saja!  Interior Design bercerita tentang sepasang kekasih bernama Hiroko (Fujitani Ayako) dan Akira (Kase Ryo) yang pindah ke Tokyo untuk mengadu nasib. Di Tokyo mereka tidak memiliki tempat tinggal, karena itulah mereka menumpang di flat sempit milik Akemi (Ito Ayumi) yang merupakan sahabat mereka. Dalam film ini kita dibawa kepada konflik dalam diri Hiroko yang merasa tidak memiliki kegunaan sama sekali. Ia tidak punya pekerjaan, tidak punya bakat, dan tidak punya ambisi. Berbeda dengan pacarnya yang memiliki tujuan hidup yaitu membuat film. Kehadiran mereka pun mulai jadi beban bagi Akemi, dan Hiroko belum juga berhasil menemukan tempat tinggal yang pas setelah berhari-hari. Kejutan ditampilkan ketika suatu hari *spoiler alert, kalo mau tau blok aja yg diputihin* Hiroko berubah menjadi KURSI secara perlahan-lahan. Manusia lain mungkin akan merasa hal tersebut sebagai musibah, tapi tidak bagi Hiroko. Hiroko yang kemudian ditemukan dan dipungut oleh seorang pria yang tampaknya berprofesi sebagai seniman malah menjadi bahagia karena setelah ia menjadi kursi, ia merasa dirinya memiliki kegunaan bagi orang lain. Melalui segmen ini, kita diperlihatkan bahwa Tokyo adalah tempat yang ideal untuk mengadu nasib sehingga banyak orang dari kota-kota lainnya memilih untuk pindah ke sana (mungkin kalo di sini sama aja dengan Jakarta, di mana banyak orang dari berbagai daerah mengadu nasib di sana). Namun, Tokyo juga adalah kota yang keras, sehingga jika ingin bertahan di sana, kita dituntut untuk punya ‘kegunaan’. Di kota besar, manusia jadi sering dipandang sebagai sekadar ‘alat’. Gak bisa kerja? Gak ada guna? Sana minggir aja! Karena itulah, apa bedanya manusia dengan benda mati (yang memiliki kegunaan)? Tidak heran jika ada manusia yang kemudian lebih senang menjelma menjadi benda mati tapi berguna, dibanding jadi manusia tapi tidak berguna (dalam hal ini, Hiroko), jika manusia hanya dipandang dari segi ‘kegunaan’ saja.

segmen “Interior Design”

segmen “Merde”

Lalu, cerita kedua berjudul “Merde”, disutradarai oleh Leos Carax yang merupakan sutradara asal Prancis. Film ini bercerita tentang laki-laki mengerikan yang tiba-tiba muncul dari saluran bawah tanah dan tingkah lakunya menggemparkan kota Tokyo. Dia berjalan ke sana kemari dan merebut barang-barang dari orang-orang yang ia lewati. Tidak hanya itu, tingkahnya juga menewaskan banyak warga Jepang, yaitu ketika ia melemparkan banyak granat yang ia temukan dari bawah tanah. Laki-laki yang dijuluki “The Creature From the Sewers” ini pun diburu dan akhirnya ditahan. Namun, laki-laki yang dari fisiknya terlihat bahwa dia adalah orang asing ini tidak mau berkata apa-apa ketika diinterogasi dan memiliki bahasa yang tidak dimengerti orang-orang. Lalu, didatangkanlah pengacara asal Prancis yang mengaku dapat mengartikan bahasa laki-laki yang kemudian diketahui bernama Merde (bahasa Prancis dari “shit”) tersebut. Lalu Merde ini kemudian menjalani sebuah pengadilan, di mana motif ia melakukan terror-teror tersebut adalah karena ia membenci orang-orang, terutama orang Jepang yang menurutnya disgusting, dan katanya lagi tentang orang Jepang “their eyes are shaped like woman’s sex”.

segmen “Shaking Tokyo”

Segmen ketiga berjudul Shaking Tokyo” (nah, yang ini favorit saya nih) yang disutradarai oleh sutradara asal Korea bernama Joon-ho Bong. Segmen ini bercerita tentang sebuah fenomena yang memang terjadi di Jepang sana (terutama di kota besar seperti Tokyo), yaitu fenomena Hikkikomori. Hikkikomori sendiri adalah suatu kondisi di mana seseorang mengurung diri dalam rumahnya dan tidak pernah keluar rumah dalam jangka waktu yang lama. Film ini bercerita tentang seorang lelaki (diperankan Kagawa Teruyuki) yang sudah tidak pernah keluar dari rumahnya sejak 10 tahun yang lalu. Ia tinggal sendiri, dan kebutuhan hidupnya terpenuhi dari uang yang dikirim oleh ayahnya. Mau makan pun, ia tinggal pesan delivery sehingga ia tidak perlu repot-repot keluar rumah, seperti kebiasaannya setiap hari Sabtu yaitu memesan pizza. Suatu hari, untuk pertama kalinya ia melakukan kontak mata dengan orang lain setelah 10 tahun, yaitu dengan seorang pengantar pizza perempuan (sebelumnya ia tidak pernah menatap mata para pengantar pesanannya). Kontak pertama yang juga dibarengi dengan terjadinya gempa tersebut cukup berkesan bagi laki-laki tersebut, dan ia ingin bertemu lagi dengan perempuan tersebut (diperankan Aoi Yu yang juga bermain di Hana and Alice). Namun sayangnya, setelah itu perempuan tersebut tidak bekerja sebagai pengantar pizza lagi. Hal tersebut mendorong laki-laki tersebut untuk keluar dari rumahnya, hanya untuk menemui perempuan tersebut. Dan ketika ia berhasil keluar dari rumahnya, ia menemui kenyataan bahwa ternyata semua orang, termasuk perempuan tersebut, telah menjadi hikkikomori seperti dirinya. Hal ini sendiri menurut saya sangat menakutkan. Salah satu yang menyebabkan fenomena hikkikomori salah satunya adalah kecanggihan teknologi (yang di jepang memang canggih) yang membuat segala sesuatu jadi lebih praktis (meskipun tokoh Hikkikomori yang diperankan Kagawa Teruyuki di sini tidak diperlihatkan sebagai maniak elektronik dan ia menjadi hikkikomori karena tidak menyukai orang-orang). Segala hal bisa didapatkan di rumah, bahkan kita tidak perlu kemana-mana untuk mendapatkan hiburan atau kebutuhan seperti makanan. Bentuk komunikasi langsung pun lama-lama hilang dan tergantikan komunikasi tidak langsung (melalui internet). Makanya bukan tidak mungkin jika semua orang Tokyo menjadi hikkikomori, bahkan para pengantar delivery pun ikut-ikutan menjadi hikkikomori dan pekerjaan mereka kemudian diambil alih oleh robot. Sampai-sampai tidak ada alasan lagi yang dapat membuat mereka mau keluar rumah, kecuali gempa. Ya, sesuai judulnya, Shaking Tokyo, tampaknya satu-satunya hal yang bisa membuat seorang hikkikomori mau keluar dari rumahnya hanyalah gempa, seperti yang terjadi pada film ini. Oh ya, melalui Shaking Tokyo, saya juga dibuat kagum karena dalam segmen ini, pusat kota Tokyo yang biasanya padat diperlihatkan jadi sangat sepi dan lengang tanpa seorang pun.

Well, secara keseluruhan film ini bagus banget, meskipun tampaknya tidak semua orang bisa menikmati film bergaya seperti ini. 4,5 bintang deh (4 bintang buat Interior Design & Merde, 5 bintang untuk Shaking Tokyo).

Rating : 1 2 3 4 4,5 5

Read Full Post »